Materi
I
Merajut
Pakaian Taqwa
Pada hakekatnya, pakaian adalah segala yang
“melekat” di badan ini; entah baju, celana, segala aksesoris yang “melekat”
lainnya, termasuk perhiasan. Selaras dengan pengertian ini, bahkan Allah
membahasakan suami sebagai “pakaian” dari istri; dan istri adalah “pakaian”
dari suami (Q.S. Al-Baqarah: 187: hunna libaasul lakum wa antum libaasun
lahunna). Mungkin karena suami
dan istri pun “melekat” satu sama lain, hingga mereka tak ubahnya seperti
pakaian.
Setidaknya
ada 3 macam fungsi pakaian yang disebut di dalam Al-Qur’an. Pertama,
pakaian sebagai penutup aurat (Q.S. An-Nuur: 58 dan Al-A’raf: 26). Kedua,
pakaian sebagai perhiasan (Q.S. Al-A’raf: 26). Dan ketiga, pakaian sebagai
pelindung, yakni dari panas dan hujan, juga dari serangan musuh (Q.S.
An-Nahl:81).
Tak
kurang dari 20 ayat ditemukan di dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang
pakaian. Entah memakai bahasa “libaasun”, “kiswatun”, “saraabil”, maupun
“tsiyab”. Namun, semuanya berbicara tentang pakaian lahiriah. Pakaian dunia.
Hanya ada satu yang menyebutkan tentang pakaian ruhani.
Pakaian
ruhani adalah sebenar-benar pakaian, yang menunjukkan baik buruknya seseorang.
Meski seseorang mengenakan pakaian lahiriah yang mewah dan mahal, tetapi jika
pakaian ruhaninya rusak, jelek, terhina, maka dirinya akan terhina pula.
Pakaian lahiriahnya tidak bermanfaat apa-apa. Pakaian lahiriahnya tak bisa
melindungi kejelekannya. Mungkin ia akan mulia dalam pandangan manusia, tetapi
tidak dalam pandangan Allah.
Apakah
pakaian ruhani yang dimaksud? Al-Qur’an menyebutnya sebagai pakaian taqwa (libaasut
taqwa). Sebagaimana firmannya, “Dan pakaian takwa itulah
yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. Al-A’raf: 26).
Tentang taqwa, imam Ali karramallahu wajhah berkata:
اَلْخَوْفُ
مِنَ الْجَلِيْلِ وَ الْعَمَلُ بِالتَنْزْيِلِ وَ اْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ
الرَّحِيْلِ
(Takut
kepada Zat Yang Mahaagung; mengamalkan apa yang diturunkan (al-Qur’an); dan
menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari yang kekal [akhirat]).
Ramadan
adalah hari-hari dimana kita memintal benang-benang pakaian takwa itu. Hari
demi hari kita memintalnya, dengan harapan pada akhir Ramadan, hari kemenangan
Idul Fitri, pakaian itu telah sempurnalah sudah dan bisa kita kenakan di hari
yang berbahagia itu. Bukan untuk dipakai sekali, setelah itu dilepas kembali.
Bukan. Tetapi, pakaian takwa itu seharusnya kita pakai seterusnya sampai tiba
kembali Ramadan berikutnya, dimana kita akan memeriksa pakaian takwa itu
kembali barangkali ada lubang, kotor, sobek dsb yang perlu kita cuci, jahit dan
rajut kembali.
Bagaimana
kita merajutnya? Barangkali di sinilah relevannya sabda Nabi Saw., “Jika datang
bulan Ramadan, maka dibuka pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka, dan
dibelenggu semua syaitan.” (muttafaq ‘alaih).
Semua
tidak lain sebagai motivasi buat kita untuk memperbanyak amal kebaikan kita.
Mumpung kesempatan itu dibuka lebar-lebar oleh Allah. Allah sedang membuka “Big
Sale”. Obral besar-besaran. Tarawih, tadarus, sadaqah, membayar zakat, menolong
orang, memberi ta’jil orang berbuka puasa, menghentikan menggunjing orang. Semuanya adalah jalan-jalan kebaikan;
jalan-jalan merajut pakaian takwa kita.
Materi 2
Hakikat Ramadhan
Sudah berapa
kali kita berjumpa Ramadhan? Bagaimana kita memaknai Ramadhan selama ini?
Apakah kita biasa melaluinya begitu saja? Ataukah kita menjalaninya dengan
biasa-biasa saja? Ataukah kita benar-benar mengistimewakan dan
mengoptimalkannya untuk mengubah diri kita menjadi lebih baik lagi?
Jika kita ingin
benar-benar mengistimewakan dan mengoptimalkan Ramadhan, tidak bisa tidak kita
harus memahami hakikat Ramadhan. Berikut ini beberapa makna dan hakikatnya.
Bulan
Ramadhan adalah Bulan Bercermin Diri (Syahrul Muhasabah)
Seberapa
bersemangat dan seberapa mampu kita memanfaatkan Ramadhan pada setiap menit dan
detiknya, merupakan indikasi ketaqwaan kita kepada Allah. Dari sini kita bisa
menilai diri kita, apakah kita termasuk hamba Allah yang dzalimun linafsihi
(masih suka menganiaya diri sendiri), atau yang muqtashid (yang
pas-pasan saja), ataukah yang sabiqun bil khairat (yang bergegas dalam
melaksanakan berbagai kebaikan).
Disamping itu,
Ramadhan juga merupakan sarana yang sangat tepat bagi kita untuk bercermin
diri. Sebuah hadits muttafaq ‘alaih menyatakan bahwa selama bulan
Ramadhan syetan-syetan dibelenggu. Nah, jika syetan-syetan telah dibelenggu
tetapi kita masih saja melakukan dosa dan kemaksiatan maka seperti itulah diri
kita yang sebenarnya.
Bulan
Ramadhan adalah Bulan Limpahan Rahmat (Syahrur Rahmah)
Rasulullah
bersabda, “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah
telah mewajibkan atas kamu berpuasa di bulan ini … Barangsiapa tidak mendapat
bagian kebaikannya, maka sungguh berarti ia telah dijauhkan dari rahmat Allah.”
Pada bulan Ramadhan,
Allah mencurahkan segenap rahmat-Nya melebihi pada bulan-bulan lainnya. Pada
bulan ini, Allah melipatgandakan pahala amal kebaikan, memberikan semangat
ketaatan kepada hamba-hamba-Nya, dan bahkan memberikan bonus satu malam yang
lebih baik dari seribu bulan yaitu Lailatul Qadr. Karena itu, rugilah
kita jika selama bulan ini kita tidak memanfaatkan limpahan rahmat Allah yang
sedemikian besar.
Bulan
Ramadhan adalah Bulan Taubat (Syahrut Taubah)
Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan berharap pahala
dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Beliau juga
bersabda, “Barangsiapa berdiri (menegakkan shalat malam, shalat tarawih) pada
bulan Ramadhan atas dasar iman dan berharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya
yeng telah lalu akan diampuni.” Beliau bahkan berkata, “Barangsiapa berpuasa
lalu tidak berkata-kata buruk dan tidak mengumpat maka ia akan keluar dari
dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” Jadi, apa
lagi yang kita tunggu. Mari kita banyak-banyak beribadah dan memohon ampunan
kepada Allah, agar Ramadhan ini dapat menjadi penghapus dosa-dosa kita.
Bulan
Ramadhan adalah Bulan Puasa (Syahrush Shiyam)
Puasa yang
sejati tidaklah cukup hanya dengan meninggalkan makan, minum dan hubungan suami
isteri pada siang hari. Lebih dari itu, puasa yang sejati adalah puasa yang
bersifat total, yakni mempuasakan seluruh anggota tubuh kita: akal pikiran,
hati, mata, telinga, lidah, tangan, kaki, dan anggota-anggota tubuh kita yang
lainnya. Semuanya harus kita puasakan dari berbagai bentuk dosa dan
kemaksiatan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan
perbuatan yang keji, maka sekali-kali Allah tidak butuh dengan puasanya yang
hanya meninggalkan makan dan minum saja.”
Bulan
Ramadhan adalah Bulan Al-Qur’an (Syahrul Qur’an)
Bulan Ramadhan
adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Pada setiap bulan ini, Rasulullah selalu
melakukan tadarrus Al-Qur’an bersama malaikat Jibril. Beliau ingin memberikan
teladan kepada kita semua agar kita berinteraksi seakrab mungkin dengan
Al-Qur’an selama bulan Ramadhan. Interaksi ini meliputi banyak hal: membacanya,
memahami maknanya, mengamalkannya, dan mendakwahkannya. Akan lebih baik lagi
jika kita juga berusaha untuk menghafalnya sesuai dengan kemampuan yang kita
miliki.
Bulan
Ramadhan adalah Bulan Infaq dan Sedekah (Syahrul Infaq wash Shadaqah)
Ramadhan bukan
hanya kesempatan untuk beribadah secara vertikal saja. Ia juga kesempatan emas
untuk beribadah secara horisontal, melakukan berbagai kebaikan kepada sesama.
Di bulan ini kita sangat dianjurkan untuk banyak berinfak dan bersedekah. Kita
telah merasakan bagaimana rasanya kelaparan dan kehausan. Sudah semestinya kita
kemudian mampu berempati kepada mereka yang selama ini biasa kelaparan dan
kehausan, dengan cara berinfaq dan bersedekah kepada mereka. Demikianlah yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah. Sebuah riwayat menyatakan bahwa kedermawanan
beliau di bulan Ramadhan sampai menyerupai angin yang bertiup.
Demikianlah
beberapa makna dan hakikat Ramadhan. Jika kita telah memahaminya maka
selanjutnya kita harus bergegas untuk mengimplementasikannya dalam hari-hari
Ramadhan kita. Harapan kita, keluar dari Ramadhan kita telah menjadi pribadi
yang jauh lebih bertaqwa, la’allakum tattaqun.
Materi 3
Ramadhan Bulan Jihad (Bagian
Pertama): Memahami Makna Jihad
Rasulullah
SAW. selalu memotivasi para sahabat dengan kabar gembira akan datangnya Ramadhan, sebagaimana sabdanya, “Telah datang kepada
kalian bulan Ramadhan,
rajanya bulan, sambut dan hormatilah Ramadhan.”
Lintasan sejarah Islam berbicara, terdapat
hubungan yang penting antara jihad dan Ramadhan. Selama kehidupan Rasulullah saw., dua buah
peperangan terjadi di bulan Ramadhan, yang pertama adalah Perang Badar yang
terjadi di tahun kedua setelah hijrah, dan yang kedua Penaklukan Mekkah (futuh
Makkah) sekitar 6 tahun kemudian.
Bahkan, setelah kehidupan Rasulullah SAW, bulan Ramadhan
tetap menjadi bulan konfrontasi militer
penting bagi kaum muslimin. Beberapa kejadian penting yang berhubungan antara bulan Ramadhan dan jihad terus terjadi dalam kehidupan bersejarah kaum
muslimin. Tentunya, Allah SWT yang paling mengetahui hikmah yang besar mengapa bulan Ramadhan
begitu memiliki kaitan erat dengan jihad.
Pastinya, Allah SWT sajalah yang mengetahui hikmah itu semua dan memberikan
indikasi dan tanda-tanda tersebut, yakni kaitan antara Ramadhan dan jihad
kepada kaum muslimin.
Untuk memahami lebih dalam hubungan ini maka
seseorang haruslah memahami esensi jihad
sebaik dia memahami esensi shaum. Jihad adalah
aktualisasi dari ibadah seorang muslim untuk membuktikan tidak ada kecintaan
baginya kecuali hanya Allah SWT saja, Rasulullah SAW, dengan upaya sekuat
tenaga untuk menggapai Ridho Ilahi. Seorang Mujahid dengan bersungguh-sungguh
memberikan semua apa pun miliknya di dunia, termasuk hidupnya, ini merupakan
bukti bahwa dia sungguh-sungguh ikhlas beribadah hanya kepada Allah SWT.
semata. Dia tidak memiliki keinginan lain, selain Allah SWT. Dia tidak
menyembah materi apa pun dalam kehidupannya, keinginannya, dan semua
semata-mata ditujukan untuk menggapai keridloan-Nya. Inilah tujuan seorang
Mujahid dan tidak ada selain itu.
Untuk beberapa alasan, banyak muslim tidak mampu
melakukan keikhlasan dalam beribadah tersebut. Mereka masih membutuhkan atau
mengharapkan sesuatu yang lain meskipun mereka tahu bahwa mereka adalah hamba
Allah SWT, mereka masih lebih mementingkan pekerjaan, keluarga, kesehatan, dan
segala sesuatu yang merupakan kenikmatan dunia. Salah satu jalan untuk mencapai
tingkat ketulusan ibadah tersebut adalah taqwa, sebagaimana firman Allah SWT.
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS 2 :
183)
Materi 4
Ramadhan Bulan Jihad (Bagian Kedua)
1.
Ramadhan Bulan Istimewa,
Ramadhan
adalah bulan kesempatan umat Islam untuk membakar dosa lebih intensif
dibandingkan dengan bulan lain. Mengapa membakar dosa? Pertama, amalan puasa
adalah ibadah istimewa dan berpahala istimewa yang mampu meningkatkan ketakwaan
dan menepis semua bentuk kemunkaran dan maksiat. Kedua, pada bulan ini umat Islam mendapatkan panen
pahala karena ada malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu lailatul
qadar, dan ketiga, dilipatgandakannya pahala semua amalan muslim dan muslimah. Yang wajib dilipatgandakan 70 kali dan
yang sunnah disamakan dengan pahala amalan wajib. Dengan keistimewaan ini, dosa
umat Islam terbakar oleh banyaknya pahala amalan kebajikan yang diraih pada
bulan Ramadhan.
Barangkali,
di sinilah rahasianya mengapa Rasulullah senantiasa menanti bulan Ramadhan,
sehingga berdoa, “Allahumma baarik lanaa fi Rajaba wa Sya’baan wa ballighnaa
Ramadlan” (Ya Allah berkati kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan
antarkan kami sampai ke bulan Ramadhan.).
Selain
dari pada itu, Beliau senantiasa berkhutbah ketika menyambut awal Ramadhan. Di
antara isi khutbahnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan An Nasa’i adalah sebagai berikut:
dan An Nasa’i adalah sebagai berikut:
“Telah
datang kepadamu bulan Ramadhan, penuh berkah. Allah mewajibkan atas kamu puasa
di bulan itu. Pada bulan itu semua pintu neraka terbuka lebar dan semua pintu
neraka Jahim tertutup rapat serta syetan-syetanpun dibelenggu. Di dalamnya
terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak
mendapatkan kebaikannya, maka sesungguhnya orang yang tidak beramal kebaikan
pada bulan ini sungguh amat merugi.”
Konotasi
“pintu-pintu surga terbuka lebar dan pintu neraka tertutup rapat dan
syetan-syetanpun dibelenggu”, maksudnya bahwa orang yang berpuasa berkesempatan
besar untuk masuk surga dan jauh dari neraka. Karena dengan puasanya ia
berpahala besar dan pasti tidak bisa digoda oleh syetan yang terkutuk.
2.
Ramadhan dan Jihad
Puasa
adalah ibadah yang bernuansa jihad melawan hawa nafsu. Orang yang tidak bisa
menahan nafsu syahwatnya, nafsu amarahnya, nafsu seksualnya, dan nafsu-nafsu
lainnya selama berpuasa, berarti puasanya akan ditolak Rabbul Izzati.
Rasulullah pernah menegaskan dengan sabdanya: “Barangsiapa yang tidak
meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh darinya untuk
meninggalkan makanan dan minumannya.”
Inilah
jihad muslim yang tiada hentinya, karena nafsu al ammarah bis suu’ senantiasa
menyertainya, baik di kala jaga atau tidur. Namun, selain jihad melawan hawa
nafsu ini, umat Islam diperintahkan juga berjihad melawan kekafiran dan
kesyirikan. Jihad untuk mempertahankan diri dari serangan kaum kufar ini sering
disebut dengan jihad qitali.
Allah
swt. telah mensyariatkan jihad melawan kekufuran sebagai sarana ibadah dan
perjuangan untuk menyiapkan individu muslim yang mampu membawa beban untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ibadah puasa penuh dengan kebaikan dan
sumber pengkaderan untuk menyiapkan generasi yang mau berkorban lii’laai
kalimatillah.
Tahun
demi tahun dilewati umat Islam dan Ramadhan penuh dengan kenangan peristiwa
besar yang menggambarkan jihad kaum muslimin. Sejak Islam datang menembus
gelapnya kekufuran dan kesyirikan menuju cahaya Islam, umatnya telah menghadapi
jihad besar melawan kezhaliman dalam menegakkan keadilan.
Jihad
yang disyariatkan Islam bertujuan mencapai dua sasaran:
Pertama:
Untuk mempertahankan diri dari serangan asing dan mempertahankan tanah air di
mana mereka tinggal.
Kedua:
Mempertahankan dakwah Islamiyah dan ajaran-ajaran Ilahi sekaligus melindungi
para pembawa panji-panjinya, demi menebarkan ajaran Islam dengan al-hikmah,
almau’izhah al hasanah dalam suasana penuh aman dan kedamaian. Jihad
disyariatkan Islam agar ajaran Islam tetap tersebar ke seantero dunia. Dakwah
bagaikan air yang harus dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat manusia. Bila
tidak disyariatkan jihad, maka kebatilan akan menggusur yang hak, kerusakan
akan menghantui dunia, dan panji-panji Islam akan tumbang diserang kekufuran.
3.
Tuntutan Jihad Sekarang Lebih Luas
Ketika
musuh-musuh Islam menyerang dengan berbagai macam cara untuk memadamkan cahaya
agama Allah, kondisi ini menuntut umat Islam agar melakukan jihad dalam
berbagai aspek kehidupan. Jihad terhadap hawa nafsu adalah jihad setiap saat
bagi setiap muslim yang masih waras dan sehat. Jihad qitaali adalah wajib bila
umat Islam diserang dengan senjata seperti di Palestina, Afghanistan, Irak,
Bosnia, dan belahan bumi lainnya. Selain jihad nafsiy dan jihad qitaali, masih
banyak lagi tuntutan jihad lainnya, sebanyak aneka ragam serangan musuh. Di
antara jihad-jihad yang dituntut sekarang adalah:
a. Jihad tablighi, yaitu
jihad dengan lisan untuk menyampaikan ajaran Islam dengan penuh hikmah,
kelembutan, dan kesejukan. Kita diwajibkan tablighi ini sebagai jihad bil-lisan
untuk meluruskan berbagai penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat.
b. Jihad ta’limi, yaitu
jihad melalui pendidikan, baik formal atau Non formal. Saat ini umat Islam
sangat dituntut untuk menekuni jihad ta’limi ini, karena sekolah-sekolah
unggulan umat Islam masih perlu peningkatan kualitas dan kuantitas. Apalagi
sekolah-sekolah yang dikelola pendidikan non Islam sarat dengan unsur-unsur
yang bisa memadamkan semangat keislaman siswa.
c.
Jihad Maali, yaitu jihad dengan harta dalam rangka menebarkan Syiar Islam,
melindungi kaum fuqara’ dan masakin dari kekufuran yang mengintai mereka. Jihad
maali ini sering disebut Al-Qur’an lebih daripada jihad binnafsi, karena:
Materi 5
Akhlak Mulia
Secara garis besar, akhlak mulia itu dapat dikelompokkan kedalam dua
kelompok yaitu:
1. Akhlak kepada Allah, Akhlak mulia kepada Allah berati mengikuti seluruh
perintah yang telah disampikan Allah kepada Rasul yang Maha Mulia Muhammad SAW.
Seluruh perintah tersebut sudah tercatat dalam Al-Quran dan Hadist.
2. Akhlak kepada Ciptaan Allah, Akhlak terhadap ciptaan Allah meliputi
segala prilaku, sikap, perbuatan, adab dan sopan santun sesama ciptaan Allah
yang terdiri atas ciptaan Allah yang gaib dan ciptaan Allah yang nyata, benda
hidup dan benda mati.
Mengingat sangat luasnya cakupan akhlak ini karena menyangkut seluruh aspek
kehidupan manusia, maka secara garis besar struktur akhlak mulia terhadap
seluruh ciptaan Allah itu dapat digambarkan seperti struktur sederhana berikut
ini. Yang pertama yaitu ciptaan Allah yang gaib, meliputi gaib dalam arti
positif dan gaib dalam arti negatif. Gaib dalam arti positif di antaranya
malaikat, qada dan qadar, kiamat, alam kubur, padang mashar, sorga dan neraka
beserta penghuninya, dan lain sebagainya. Sedangkan gaib dalam arti negatif di
antaranya iblis, jin, syetan, dan benda serta alam gaib lainnya. Yang kedua
yaitu ciptaan Allah yang nyata. Ciptaan Allah yang nyata meliputi sesama
manusia (nabi dan rasul, diri sendiri, orang tua, kerabat dekat, kerabat jauh,
tetangga dekat dan tetangga jauh, sesama muslim, non muslim), selain manusia
(tumbuhan dan hewan), serta benda mati (bumi dan segalanya serta benda
angkasa).
Walau struktur yang disampaikan masih sangat jauh dari lengkap dan
sempurna, namun diharapkan akan bisa memberikan gambaran cakupan akhlak mulia
yang sudah dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Seluruh sikap dan perilaku serta adab
sopan santun terhadap semua ciptaan Allah sudah termuat dan tercantum dalam
Al-Quran dan Hadist. Tinggal
bagaimana kita bisa mempelajarinya secara benar dan teliti serta mengamalkannya.
Pembahasan masalah Akhlak adalah pembahasan yang sangat luas, sama
luasnya dengan seluruh asoek kehidupan manusia serta variasi - variasinya. Secara
garis besar fungsi dan tujuan pengamalan akhlak mulia bagi umat manusia adalah
:
1. Sebagai pengamalan syariat Islam. Sebagai pengamalan Syariat Islam.
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam semeste telah ,e,berikan tuntunan
prilaku dan etika secar sempurna, sehingga dengan niat karena Allah SWT,
pengamalan akhlak yang mulia itu insya Allah akan menjadi ibadah bagi umat
islam yang mengamalkanya.
2. Sebagai Identitas. Sebagai Identias, Akhlak mulia ini diperuntukkan oleh
Allah kepada manusia yang berakal budi karena dengan tuntunan akhlak yang mulia
akan bisa membedakan antara manusia denga hewan.
3. Pengatur tatanan Sosial. Akhlak Mulia Sebagai Pengatur Tatanan Sosial
berarti dengan pengamalan akhlak mulia yang sudah dicontohkan oleh yang Mulia
Saydina Muhammad SAW mengukuhkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak
akan pernah bisa dan lepas dari pengaruh lingkungannya. Dengan akhlak mulia ini
tatanan sosial yang terbentuk semakin memberikan makna dan nilai yang
tidak saling merugikan.
4. Rahmat bagi seluruh alam. Akhlak Mulia Sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam
berarti akhlak mulia yang diperuntukkan bagi manusia tidak hanya mengatur
tatanan hubungan manusia dengan manusia lainnya tetapi juga hubungan antara
manusia dengan makhluk – makluk lain selian manusia dan alam sekitarnya.
5. Perlindungan diri dan HAM. Akhlak Mulia Sebagai Perlindungan Diri dan
Hak Azazi Manusia ( HAM ) berarti dengan menjalin hubungan yang baik
berdasarkan hukum dan syariat agama akan terbentuk hubungan yang saling
menghargai dan saling menguntungkan.
Tidak ada manusia di dunia ini yang memiliki kesamaan seratus persen. Baik
suara, bentuk tubuh, atau pun sifat dan karakter pasti akan berbeda. Allah SWT
telah menciptakan seluruh manusia dalam keberagaman. Hingga anak-anak yang
kembar siam pun tetap memiliki perbedaan. Perbedaan yang khas dari milyaran
umat manusia di dunia ini seharusnya makin menyadarkan manusia akan Maha Agung
dan Maha Besar-nya Sang Maha Pencipta.
Sebagai seorang muslim, kita adalah makhluk sosial. Allah telah mewajibkan
kita untuk hidup berinteraksi dengan masyarakat. Saat berinteraksi dengan masyarakat
tentu saja kita harus dapat menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat dengan
baik. Agar tidak terjadi masalah yang akan membuat suasana hubungan yang
harmonis menjadi terganggu.
Materi 6
Meraih Ampunan Di Bulan Ramadhan
Siapa saja yang berpuasa pada bulan
Ramadhan dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala Allah semata maka
diampunilah dosanya yang telah berlalu. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Allah
SWT Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, melalui sabda Nabi saw. tersebut,
telah menegaskan kepada kaum Muslim tentang berita pengampunan pada bulan
Ramadhan. Sungguh, ini adalah bentuk kebesaran dan kasih sayang Sang Pencipta
kepada makhluk-Nya. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh dengan
pengampunan. Oleh sebab itu, pada bulan Ramadhan umat Islam diperintahkan untuk
banyak memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun.
Dosa
merupakan konsekuensi dari perbuatan maksiat kepada Allah SWT, baik karena
mengabaikan kewajiban ataupun melakukan keharaman. Manusia sering berbuat dosa,
siang maupun malam hari. Di rumah, di masjid, di kantor, di angkot, di bis, di
kendaraan pribadi, di kereta api, di terminal, di stasiun, di bandara, di
sekolah, di kampus, di pabrik dan dimana saja seseorang sangat mungkin berbuat
kesalahan. Berbuat salah memang sudah sunnatullah. Sebab, Rasul sendiri telah
menyatakan bahwa manusia itu tempat salah dan lupa. Untuk itu, Allah
SWT memerintahkan hamba-Nya untuk sering meminta ampunan kepada-Nya. Allah SWT
berfirman:
Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka—dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. (QS Ali Imran [3]: 135).
Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka—dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. (QS Ali Imran [3]: 135).
Selain itu, nash di atas juga
menggambarkan bahwa kaum Muslim harus senantiasa memohon ampunan kepada Allah
SWT. Memang, jika Allah SWT menghendaki, dapat saja suatu dosa seseorang
langsung Dia ampuni. Namun, Dia sendiri memerintahkan kepada manusia untuk
sering meminta ampunan kepada-Nya. Baru kemudian, Allah SWT akan mengampuninya.
Allah SWT sendiri pasti akan mengampuni semua dosa manusia, kecuali dosa
syirik, tentu selama manusia tidak mau bertobat sampai akhir hayatnyaAllah SWT
berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan
Dia mengampuni segala dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Siapa saja yang mempersekutukan Allah, maka ia sungguh telah
berbuat dosa yang besar. (QS an-Nisa [4]: 48).
Di samping Allah SWT telah menyuruh setiap Muslim untuk sering memohon ampunan kepada-Nya, Rasulullah saw. juga telah memberikan teladan kepadanya. Dalam hadisnya, Rasul pernah bersabda:”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar meminta ampunan kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali sehari. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Di samping Allah SWT telah menyuruh setiap Muslim untuk sering memohon ampunan kepada-Nya, Rasulullah saw. juga telah memberikan teladan kepadanya. Dalam hadisnya, Rasul pernah bersabda:”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar meminta ampunan kepada Allah dan bertobat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali sehari. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Padahal Rasulullah saw. adalah seorang
yang maksum, atau terpelihara dari dosa. Beliau dijamin masuk surga. Namun,
beliau tetap terus memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha
Penyayang. Karena itu, Muslim yang menjadikan Baginda Rasul sebagai suri
teladannya akan berupaya untuk sering meminta ampunan, khususnya pada bulan
Ramadhan. Allah SWT Maha Penyayang tidak pilih kasih dalam memberikan ampunan
kepada hamba-Nya. Apapun dosanya, berapapun banyaknya, selama hamba mau
bertobat, Dia akan mengampuninya.
Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS az-Zumar [39]: 53).
Untuk itu, pada kesempatan Ramadhan yang penuh ampunan ini, seorang Muslim sudah seharusnya banyak meminta ampunan kepada Allah SWT. Di samping itu, dia akan senantiasa melakukan muhâsabah (instrospeksi diri), dengan mengajukan banyak pertanyaan kepada dirinya sendiri tentang berbagai hal. ”Berlomba-lombalah kalian mendapatkan ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah memiliki karunia yang agung. (QS al-Hadid [57]: 21).
Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS az-Zumar [39]: 53).
Untuk itu, pada kesempatan Ramadhan yang penuh ampunan ini, seorang Muslim sudah seharusnya banyak meminta ampunan kepada Allah SWT. Di samping itu, dia akan senantiasa melakukan muhâsabah (instrospeksi diri), dengan mengajukan banyak pertanyaan kepada dirinya sendiri tentang berbagai hal. ”Berlomba-lombalah kalian mendapatkan ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah memiliki karunia yang agung. (QS al-Hadid [57]: 21).
Materi 7
Keutamaan Qiyamullail
Dari
Jabir r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
pada malam hari itu benar-benar ada saat yang seorang muslim dapat menepatinya
untuk memohon kepada Allah suatu kebaikan dunia dan akhirat, pasti Allah akan
memberikannya (mengabulkannya); dan itu setiap malam.” (HR. Muslim dan
Ahmad)
Qiyamullail adalah sarana berkomunikasi seorang
hamba dengan Rabbnya. Sang hamba merasa lezat di kala munajat dengan
Penciptanya. Ia berdoa, beristighfar, bertasbih, dan memuji Sang Pencipta. Dan
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sesuai dengan janjinya, akan
mencintai hamba yang mendekat kepadanya. Kalau Allah swt. mencintai seorang
hamba, maka Ia akan mempermudah semua aspek kehidupan hambaNya. Dan memberi
berkah atas semua aktivitas sang hamba, baik aktivitas di bidang dakwah,
pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Sang hamba akan dekat
dengan Rabbnya, diampuni dosanya, dihormati oleh sesama, dan menjadi penghuni
surga yang disediakan untuknya.
Seorang muslim yang kontinu mengerjakan
qiyamullail, pasti dicintai dan dekat dengan Allah swt. Karena itu, Rasulullah
saw. menganjurkan kepada kita, “Lazimkan dirimu untuk shalat malam karena hal
itu tradisi orang-orang shalih sebelummu, mendekatkan diri kepada Allah, menghapus
dosa, menolak penyakit, dan pencegah dari dosa.” (HR. Ahmad)
Jika Anda ingin mendapat kemuliaan di sisi Allah
dan di mata manusia, amalkanlah qiyamullail secara kontinu. Dari Sahal bin
Sa’ad r.a., ia berkata, “Malaikat Jibril a.s. datang kepada Nabi saw. lalu
berkata, ‘Wahai Muhamad, hiduplah sebebas-bebasnya, akhirnya pun kamu akan
mati. Berbuatlah semaumu, pasti akan dapat balasan. Cintailah orang yang engkau
mau, pasti kamu akan berpisah. Kemuliaan orang mukmin dapat diraih dengan
melakukan shalat malam, dan harga dirinya dapat ditemukan dengan tidak minta
tolong orang lain.’”
Orang yang shalat kala orang lain lelap tertidur,
diganjar dengan masuk surga. Kabar ini sampai kepada kita dari hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Salam dari Nabi saw., beliau
bersabda, “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, dan shalat
malamlah pada waktu orang-orang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat.”
Seorang dai yang ingin berhasil dakwahnya, harus
mennabur kasih sayang kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal itu dapat digapai
dengan wajah yang berseri-seri, mengucapkan salam, mengulurkan bantuan,
silaturahim, dan pada malam hari memohon kepada Allah diawali dengan
qiyamulail. Tapi sayang, yang melaksanakan qiyamulail secara kontinu sangat
sedikit jumlahnya. Semoga kita termasuk kelompok yang sedikit ini dan berhak
masuk surga tanpa dihisab. Rasululah saw. bersabda, “Seluruh manusia
dikumpulkan di tanah lapang pada hari kiamat. Tiba-tiba ada panggilan
dikumandangkan dimana orang yang meninggalkan tempat tidurnya, maka berdirilah
mereka jumlahnya sangat sedikit, lalu masuk surga tanpa hisab. Baru kemudiaan
seluruh manusia diperintah untuk diperiksa.”
Kiat Mudah Qiyamullail
Qiyamullail memerlukan kesungguhan dan kebulatan
tekad. Jika ada tekad, akan sangat mudah merealisasikannya dengan izin Allah.
Berikut ini kiat-kiat pendorong meninggalkan tempat tidur untuk bermunajat
kepada Yang Maha Pengasih.
(1)
Programlah aktivitas Anda di hari
yang malamnya Anda rencanakan untuk qiyamulail agar memungkinkan Anda tidak
kelelahan. Sehingga tidak membuat Anda tidur terlalu lelap.
(2)
Pahamilah bahwa Anda punya
kebutuhan jasmani, aqli, dan ruhani, serta Anda wajib memenuhinya dengan
seimbang.
(3)
Hindari maksiat. Sebab menurut
pengalaman Sufyan Ats-Tsauri, “Aku sulit sekali melakukan qiyamullail selama 5
bulan disebabkan satu dosa yang aku lakukan.”
(4)
Ketahuilah fadhilah (keutamaan)
dan keistimewaan qiyamulail. Dengan begitu Anda termotivasi untuk
melaksanakannya.
(5) Tumbuhkan perasaan
sangat ingin bermunajat dengan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
(6) Makan malam jangan
kekenyangan, berdoa untuk bisa bangun malam, dan jangan lupa pasang alarm
sebelum tidur.
(7) Baik juga jika Anda
janjian dengan beberapa teman untuk saling membangunkan dengan miscall melalui
telepon atau handphone yang Anda miliki.
(8) Buat kesepakatan
dengan istri dan anak-anak bahwa keluarga punya program qiyamullail bersama
sekali atau dua malam dalam sepekan.
(9) Berdoalah kepada
Allah swt. untuk dipermudah dalam beribadah kepadaNya.
Materi 8
Ramadhan:Syahrut Tarbiyah
Kenapa
bulan Ramadhan disebut dengan syahrut Tarbiyah (bulan pembinaan dan
pendidikan)??
Karena
pada bulan ini umat Islam dididik langsung oleh Allah SWT. dan
diajarkan oleh-Nya supaya bisa mengatur waktu dalam kehidupan secara baik;
Kapan waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu
ibadah.
Tarbiyah
adalah sarana yang sangat urgen bagi kehidupan insan dan umat, karena dengan
tarbiyah akan lahir Syakhshiyah islamiyah mutakamilah mutawazinah
(kepribadian islami yang utuh dan seimbang) yang siap menjawab tantangan zaman
dengan segala problematika, ujian dan cobaannya.
Dalam
kontek tarbiyah itu sendiri; untuk menghasilkan kader-kader yang memiliki Syakhshiyah
islamiyah mutakamilah mutawazinah (kepribadian islami yang utuh dan
seimbang), maka pembinaan dalam Islam harus mampu merealisasikan tujuan-tujuan
berikut ini:
(1) Memahami Islam
sebagai manhaj atau pedoman hidup bagi Manusia yang bersifat syumiliyah
(universal), mutawazinah (seimbang), mutakamilah (integral), alamiyah
(global), murunah (fleksibel) dan waqi’iyyah (realistis) serta
robbaniyyah (bersumber dari Allah).
(2) Memiliki komitmen
pada Islam dalam semua aspeknya; sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan
lain-lainnya; sehingga semua nazhoriyah (teori) dapat teraplikasikan
di dalam kehidupan yang nyata.
(3) Memperhatikan kondisi
obyektif masyarakat dalam hal aplikasi, komunikasi dan interaksi dengan
prinsip-prinsip Islam. Semua itu harus disesuaikan dengan situasi, kondisi,
waktu dan tempat. Apakah dengan kaum muslimin ataukah dengan non muslim dan
baik dalam ta’amul da’awi (interaksi da’wah) maupun ta’amul siyasi
(interaksi politik).
Selain
itu juga perlu dilihat apakah di dalam masyarakat yang mono-loyalitas ataukah
multi-loyalitas; karena memang tidak mungkin mengaplikasikan Islam hanya dengan
satu model. Oleh karena itu diperlukan ta-shil syari (pengokohan hukum
syar’i’) dalam berinteraksi dengan orang lain (fiqhu ta’amul ma’al ghoir)
dan manhaj tarbiyah haruslah dibuat di atas landasan ini.
(4) Memperhatikan tanggung
jawab pendidikan Islam. Dalam rangka mencetak generasi sholih yang bisa bergaul
dengan masyarakat luar; mampu mempengaruhi, menguasai dan tidak menganggap
mereka sebagai musuh walaupun perlakuan mereka keras, kasar dan menyakitkan.
Dalam
bulan romadhan, Allah SWT ingin memberikan tarbiyah kepada kaum muslimin, agar
tercetak sosok yang shalih, meningkat keimanannya, berakhlak dan berpengetahuan
yang lurus serta komitmen di jalan da’wah untuk menggapai ridho Allah.
Istilah
Ramadhan itu sendiri berasal dari kata ramadla-yarmudlu-ramadlan artinya panas
membakar. Panas membakar ini bisa berasal dari sinar matahari. Orang Arab
dahulu ketika memindahkan nama-nama bulan dari bahasa lama ke bahasa Arab,
mereka menamakan bulan-bulan itu menurut masa yang dilaluinya. Kebetulan bulan
Ramadhan masa itu sedang melalui musim panas akibat sengatan terik matahari
apalagi bagi pejalan kaki di atas padang pasir pada masa itu.
Ramadhan
bermakna panas membakar juga di dasarkan karena perut orang-orang yang berpuasa
tengah terbakar akibat menahan makan minum seharian. Panas membakar bulan
Ramadhan bisa juga berarti karena bulan Ramadhan memberikan energi untuk
membakar dosa-dosa yang dilakukan manusia.
Pada
bulan yang sangat istimewa ini, terdapat sekian banyak wahana yang bisa
dimanfaatkan dalam rangka penggemblengan dan pemanasan diri itu. Dari yang
wajib seperti puasa dan zakat fitrah hingga yang sunaah seperti i’tikaf,
tadarus, tarawih, sedekah, dan sebagainya. Dari yang berbentuk fisik seperti
memberi makanan berbuka kepada fakir miskin hingga yang psikis seperti sabar,
tawakal, amanah, jujur dan sebagainya.
Materi 9
Sarana-sarana Tarbiyah Ramadhan
Secara
garis besar dapat kita temui bahwa Ramadhan merupakan sarana tarbiyah yang
meliputi :
1. Ramadhan merupakan sarana Tarbiyah Ruhiyah (pembinaan spiritual)
Pada
dasarnya setiap ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya, selain
merupakan kewajiban dan alasan diciptakannya manusia dan makhluk lainnya; juga
merupakan sarana untuk membersihkan diri manusia itu sendiri dari kotoran dan
dosa yang melumuri jiwa, sehingga tidak ada satu ibadahpun yang lepas dari arah
tersebut; shalat misalnya merupakan sarana untuk mencegah diri dari
perbuatan keji dan mungkar. Zakat yang dikeluarkan oleh orang kaya merupakan sarana
untuk membersihkan diri dan hartanya dari kotoran yang terdapat dalam hartanya,
seperti yang tersirat dalam surat At-Taubah (9) ayat 103 dan Al-Lail (92) ayat
18. Begitupun dengan bulan ramadhan yang di dalamnya terdapat ibadah puasa,
berfungsi sebagai sarana tazkiyatunnafs (perbersihan jiwa), dimana
orang yang berpuasa selain menjaga diri untuk tidak makan dan minum, juga
dituntut untuk mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
2. Ramadhan merupakan sarana tarbiyah jasadiyah (pembinaan jasmani)
Ibadah
puasa merupakan ibadah yang tidak hanya membutuhkan pengendalian hawa nafsu
tapi juga membutuhkan kekuatan fisik, karenanya puasa tidak diwajibkan bagi
mereka yang kesehatannya tidak prima, seperti orang tua yang telah renta, orang
sakit, wanita yang sedang hamil tua atau menyusui serta orang yang sedang
musafir (dalam perjalanan); yang mana kesemua itu merupakan keringanan
(rukhsah) bagi mereka; karena ketidak mampuan, atau karena kesehatan janin dan
bayi dan menjaga kesehatan bagi orang yang sedang musafir. (Lihat surat
al-baqarah ayat 184). Selain itu juga dengan puasa dari segi kesehatan akan
membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari
sisa-sisa endapan makanan, mengurangi kegemukan dan menenangkan kejiwaan atas
aspek materil yang ada dalam diri manusia.
3. Ramadhan merupakan sarana tarbiyah ijtima’iyah (pembinaan sosial)
Selain
melatih diri, puasa juga memiliki sisi pendidikan sosial, apalagi dalam
kewajiban puasa ramadlan, seluruh umat islam di dunia diwajibkan berpuasa,
tanpa terkecuali; baik yang kaya atau miskin, pria atau wanita, kecuali bagi
mereka yang ada udzur, disinilah letak pendidikan sosial, mereka sama dihadapan
perintah Allah, sama dalam merasakan lapar dan dahaga, dan sama dalam
ketundukan terhadap perintah Allah.
Puasa
juga dapat membiasakan umat untuk hidup dalam kebersamaan, bersatu, cinta
keadilan dan persamaan, begitupun juga melahirkan kasih sayang kepada
orang-orang miskin, sehingga orang-orang yang mampu dan kaya merasakan apa yang
di derita oleh orang-orang fakir dan miskin dan mau memberi dari rizki yang
Allah anugrahkan kepadanya. Sehingga dari sinilah di harapkan timbul rasa
persaudaraan dan solidaritas.
4. Ramadhan merupakan sarana tarbiyah khuluqiyah (pembinaan akhlak)
Rasulullah
SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:
“Apabila
seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan
berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah: “Aku ini
sungguh sedang puasa”. Dalam hadits lain disebutkan: Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dusta, dan melakukan
perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan dahaga mereka” (HR
Bukhari dan Abu Dawud).
Mengenai
hadits yang terakhir, Al’Allamah Asy-Syaukani berkata: “Menurut Ibnu Bathal,
maksud hadits di atas bukan berarti orang itu disuruh meninggalkan puasa,
tetapi merupakan peringatan agar jangan berkata bohong atau melakukan perbuatan
yang memuat dusta. Sedangkan menurut Ibnu Arabi, maksud hadits ini ialah
bahwa puasa seperti itu tidak berpahala. Dan berdasarkan hadits ini, Ibnu
‘arabi mengatakan pula bahwa perbuatan-perbuatan buruk tersebut di atas dapat
mengurangi pahala puasa
5. Ramadhan merupakan sarana tarbiyah
jihadiyah
Puasa juga merupakan sarana dalam menumbuhkan semangat jihad dalam diri umat,
terutama jihad dalam memerangi musuh yang ada dalam jiwa setiap muslim,
mengikis hawa nafsu, dan berusaha menghilangkan dominasi jiwa yang selalu
membawanya kepada perbuatan yang menyimpang. Sebagaimana puasa juga menumbuhkan
semangat jihad yang nyata, karenanya peperangan yang terjadi dan dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya kebanyakan di bulan puasa, dan justru dengan
berpuasa mereka dapat lebih semangat dalam berjihad.
“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dijalan kami
maka Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami (jalan yang lurus)” (QS. 29 ayat 69)
Dan puncak tarbiyah yang dapat di raih oleh
seorang muslim pada bulan ramadhan adalah mencapai maqam taqwa disisi Allah
SWT, sebagaimana yang telah difirmankan Allah dipenutup perintah-Nya
untuk berpuasa, “agar kamu bertaqwa”, karena dengan puasa kesehatan qalb (hati)
dan jasad (jasmani) terjaga.
Materi 9
Kehidupan Jahiliyah (Bagian I): Gaya hidup Islami Vs Jahiliyah
Ada dua hal yang umumnya dicari oleh
manusia dalam hidup ini. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair), dan
yang kedua ialah kebahagiaan (as sa’adah). Hanya saja masing-masing
orang mempunyai pandangan yang berbeda ketika memahami hakikat keduanya. Perbedaan
inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia. Dalam pandangan Islam gaya hidup tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu: 1) gaya hidup Islami, dan 2) gaya
hidup jahiliyah.
Gaya
hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak dan kuat, yaitu Tauhid. Inilah gaya
hidup orang yang beriman. Adapun gaya hidup jahili, landasannya bersifat
relatif dan rapuh, yaitu syirik. Inilah gaya hidup orang kafir. Setiap
Muslim sudah menjadi keharusan baginya untuk memilih gaya hidup Islami dalam
menjalani hidup dan kehidupan-nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Katakanlah:
“Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).
Berdasarkan ayat tersebut
jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib atas setiap Muslim, dan gaya
hidup jahili adalah haram baginya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat
kita sangat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahili (yang
diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam. Fenomena ini
persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Salam . Beliau bersabda:
لاَ
تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا
شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَفَارِسَ
وَالرُّوْمِ. فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَـئِكَ. (رواه البخاري عن أبي
هريرة، صحيح).
“Tidak
akan terjadi kiamat sebelum umatku mengikuti jejak umat beberapa abad
sebelumnya, sejengkal demi sejengkal
dan sehasta demi sehasta”. Ada orang yang bertanya, “Ya Rasulullah, mengikuti
orang Persia dan Romawi?” Jawab Beliau, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dari
Abu Hurairah z, shahih).
لَتَتَّبِعَنَّ
سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ
دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
اَلْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. قَالَ: فَمَنْ. (رواه البخاري عن أبي سعيد الخدري،
صحيح).
“Sesungguhnya
kamu akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke lubang biawak,
niscaya kamu mengikuti mereka”. Kami bertanya,”Ya Rasulullah, orang Yahudi dan
Nasrani?” Jawab Nabi, “Siapa lagi?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri z, shahih).
Hadits tersebut menggambarkan
suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian
Islamnya karena jiwa mere-ka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain.
Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup
jenis lain. Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari
kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami.
Materi 10
Kehidupan Jahiliyah (Bagian Kedua):
Tasyabbuh
(menyerupai suatu kaum)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. (رواه أبو داود وأحمد عن ابن عباس).
Artinya: “Barangsiapa menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad,
dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan).
Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya
menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti
mereka. Lalu dalam hal apakah tasyabbuh itu?Al-Munawi berkata:
“Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian
mereka, berlaku/ berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat
mereka”.
Satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh
yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian Muslimah.
Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana Muslimah
telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahiliyah. Hanya saja masih sering
kita menjumpai busana Muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang
dikehendaki syari’at. Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat
sebagai ciri pakaian jahiliyah. Adapun yang lebih memprihatinkan lagi adalah
busana wanita kita pada umumnya, yang mayoritas beragama Islam ini, nyaris tak
kita jumpai mode pakaian umum tersebut yang tidak mengekspose aurat. Kalau
tidak memper-tontonkan aurat karena terbuka, maka ekspose itu dengan
menonjolkan keketatan pakaian. Bahkan malah ada yang
lengkap dengan dua bentuk itu; mempertontonkan dan menonjolkan aurat. Belum
lagi kejahilan ini secara otomatis dilengkapi
dengan tingkah laku yang -kata mereka- selaras dengan mode pakaian itu. Na’udzubillahi
min dzalik.
Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda: "Dua
golongan ahli Neraka yang aku belum melihat mereka (di masaku ini) yaitu suatu
kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuk
itu. (Yang kedua ialah) kaum wanita yang berpakaian (tapi kenyataan-nya)
telanjang (karena mengekspose aurat), jalannya berlenggak-lenggok
(berpenampilan menggoda), kepala mereka seolah-olah punuk unta yang bergoyang.
Mereka itu tak akan masuk Surga bahkan tak mendapatkan baunya, padahal baunya
Surga itu tercium dari jarak sedemikian jauh”. (HR. Muslim, dari Abu
Hurairah z, shahih).
Jika tasyabbuh dari aspek busana wanita saja sudah sangat
memporak-porandakan kepribadian umat, maka tidak ada alasan bagi kita untuk
tinggal diam. Sebab di luar sana sudah nyaris seluruh aspek kehidupan umat
bertasyabbuh kepada orang-orang kafir yang jelas-jelas bergaya hidup jahili.
Materi 10
Pengertian Jahiliyah: Masa Sebelum Islam
Masa Jahiliyah adalah era ketika
kondisi dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah Islam.
Periode ini sering juga disebut dengan istilah Pra-Islam. Seiring dengan
perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat
orang-orang yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kebiasaan-kebiasaan kaum
jahiliyah yang realitasnya berseberangan dengan anjuran Rasulullah s.a.w
tersebut disebabkan oleh sifat keras kepala, apriori dan ta’assub (fanatik yang
berlebihan) terhadap peninggalan dan tradisi para leluhur yang mengental rekat
dalam ritual yang selalu disakralkan.
Seperti kebiasaan dahulu
orang-orang jahiliyah yang mengitari ka’bah dengan bertelanjang tanpa busana,
akhirnya terwarisi dengan kebiasaan generasi berikutnya yang tidak malu
mempertontonkan auratnya di depan publik, sehingga hal seperti itu dianggap
lumrah bahkan dianggap sebagai modernisasi.
Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab
dalam Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa agama mereka (orang-orang
jahiliyah) terbangun oleh beberapa pondasi yang menjadi akar dan pijakan. Yang
terbesar diantaranya ialah “TAQLID”, yaitu sebuah sistim yang besar yang selalu
menjadi tumpuan semua orang-orang kafir, sedari dahulu kala hingga akhir zaman.
Sebagaimana Allah SWT berfirman di berbagai ayat di dalam Al-Qur’an:
“Wa kadzaalika maa arsalna min
qablika fi qaryatin min nadziirin illaa qaala mutrafuuha innaa wajadnaa
aabaa-ana ‘ala ummatin wa innaa ‘ala aatsaarihim muqtaduun”;
“Dan demikianlah, Kami tidak
mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesunguhnya kami
adalah pengikut jejak-jejak mereka”(QS.Az-Zukhruf:23).
“Wa idzaa qiila lahumuttabi’uu
maa anzalallahu, qaaluu bal nattabi’u maa wajadnaa ‘alaihi aabaa’ana, awalaw
kaanasy-syaythaanu yad’uuhum ilaa ‘adzaabis-sa’iir”;
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi
kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kami
mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun
syaithan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala
(neraka)?(QS.Luqman:21).
“Ittabi’uu maa unzila ilaikum min
rabbikum walaa tattabi’uu min duunihi awliyaa’a. Qaliilan maa tadzakkaruun”:
“Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya
(pemimpin yang membawa kepada kesesatan). Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (dari padanya)” (QS.Al-A’raf:3).
Syeikh DR.Shalih ibn Fauzan ibn
Abdillah Al-Fauzan dalam Syarhul Masaa’il Al-Jahiliyyah menjelaskan bahwa
mereka (orang-orang jahiliyah) tidak menegakkan agama mereka sesuai dengan apa
yang telah para Rasul sampaikan kepada mereka, sesunguhnya mereka
mengkonstruksi agama mereka dengan dasar-dasar yang mereka mengada-adakannya
sendiri sekehendak hati mereka, dan mereka enggan merobah diri serta beranjak
dari kebiasaan itu. Perihal inilah yang dalam dunia Islam disebut sebagai
“at-taqlid”, atau dalam istilah Arab juga akrab dengan sebutan “al-muhakah”,
yaitu sebagian orang meniru cara-cara yang kelompok individu lain lakukan,
sedangkan objek yang ditiru itu tidak sepatutnya untuk menjadi percontohan
(maslahat). Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Wakadzalika maa arsalna min
qablika fi qaryatin min nadziirin illaa mutrafuuha inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala
ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”;
Kata “mutrafuuha” dalam ayat ini
adalah “mereka (para penduduk) yang hidup mewah sejahtera dan bergelimang harta
pada umumnya, karena mereka adalah orang-orang yang cenderung berbuat jahat,
sombong, dan tiada keinginan menerima kebenaran. Berbeda halnya dengan kaum
faqir dan dhuafa, yang pada umumnya bersikap tawadhu’ dan ikhlas menerima
kebenaran.
Kaum yang mengagung-agungkan
harta, tahta dan garis keturunan leluhurnya inilah, yang dahulu ketika para
Rasul memberi peringatan dan mengajak mereka kepada jalan yang benar, mereka selalu
membantah dengan ucapan” “Inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa
aatsaarihim muqtaduun”; “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut
suatu agama dan sesungguhnya kami adalah penganut jejak-jejak mereka.” Dengan
kata lain (secara tidak langsung) mereka bermaksud: Kami tidak butuh peran dan
kehadiranmu wahai Rasul, kami lebih percaya dengan apa yang telah dibudayakan
oleh leluhur kami. Hal inilah yang di dalam literatur Islam disebut dengan
istilah “at-taqlid al-a’maa” atau dalam istilah kita: “fanatisme buta” (blind
obedience), yang tergolong dalam salah satu perangai kaum jahiliyah.
Materi 11
Pengertian Jahiliyah (Bagian Kedua):
Tidak Mau Berpikir
Allah SWT
berfirman: “Qul Innamaa A’idzhukum biwaahidatin. An taquumuu lillaahi matsnaa
wa furaadaa tsumma tatafakkaruu. Maa bishaahibikum min jinnatin”;
“Katakanlah:
“Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu supaya
kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian
kamu fikirkan (tentang Muhammad), tidak ada penyakit gila sedikitpun pada
kawanmu itu” (QS.Saba’: 46).
Orang-orang
Jahiliyah yang mendengar ayat ini tidak mau berpikir sejenak seraya
mempertimbangkan kandungan dan arti dari ayat yang menarik ini. Mereka lebih memilih
untuk menjawab: “Kami telah berpegang teguh terhadap apa yang telah dilakukan
oleh para leluhur kami. Kami tidak sudi mematuhi orang ini,
Muhammad s.a.w.”
Demikianlah
kaum jahiliyah, yang senantiasa memutarbalikkan fakta, menuding bahwa
Rasulullah adalah orang gila, pendongeng sejati, dan orang yang tidak tahu
diri, tanpa berpikir terlebih dahulu dan membuktikan bahwa perkataannya itu
sesuai dengan realitas yang hakiki. Hal ini diakibatkan karena diri mereka yang
tidak mau mendengar, tidak sudi berpikir dengan akal sehatnya, dan senantiasa
menyelimuti diri mereka dengan hawa nafsu, yang mengantarkan mereka pada
kesesatan yang nyata.
Maka dari
itu, hendaknya ini menjadi titik sentral perhatian orang-orang yang beriman
agar cermat memilah dan memilih, yang mana hidayah (petunjuk) dan yang mana
dhalalah (kesesatan), karena tidak sedikit kesesatan yang terbungkus oleh
kamuflase hidayah. Tidak jarang orang-orang menyangka sesuatu itu hidayah (hal
yang benar-benar sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh syariat), namun
hakikatnya adalah kesesatan yang nyata.
Hal inilah
yang menjadi sebab mengapa dahulu Rasulullah s.a.w melarang para sahabat untuk
berziarah kubur, sebelum akhirnya beliau me-mansukh-kan hadits itu dengan
ucapan: “Inni kuntu nahaytukum ‘an ziyaaratil qubuur, fazuuruhaa fa innahaa
tudzakkirukumul aakhirah”; “Sesungguhnya dahulu aku mencegahmu untuk berziarah
kubur, (sekarang) berziarahlah kamu, sesungguhnya hal itu akan mengingatkanmu
akan kematian (kehidupan akhirat)” (HR.Abu Daud, Turmudzi, An-Nasa’i, Ibnu
Majah, dan Ahmad) (“Al-Ibdaa’u fi Madhaaril Ibtidaa’ ”, As-Syaikh Ali Mahfudz,
Daarul Bayan Al-‘Arabi, Kairo).
Itulah
beberapa praktek jahiliyah, yang hanya bersandar pada dugaan-dugaan dan hawa
nafsu, yang turun temurun terwarisi dari para leluhur mereka, yang dianggap
sebagai sebuah petunjuk dan tuntunan yang benar, padahal pada dasarnya adalah
kesesatan yang teramat nyata.
Satu hal yang perlu menjadi
perhatian umat Islam, bahwa perangai Jahiliyah menganut satu kaidah (asas):
“Al-Ightirar bil Aktsar”; “Tertipu oleh Kebanyakan” (deceived by the most).
Mereka berhujjah bahwa yang banyak pelaku dan pengikutnya, itulah yang benar.
Mereka mengambil kesimpulan bahwa sesuatu itu salah (batil) karena asing (aneh)
dan sedikit penganut atau pengikutnya. Itulah prinsip dasar yang mereka pegang,
dan mereka suka memutarbalikkan fakta yang ada di dalam Al-Qur’an dengan
menukar-nukar kandungan tafsir Al-Qur’an sekehendak hawa nafsunya.
Sudah menjadi sunnatullah, bahwa
kebaikan itu sedikit pengikutnya dan kesesatan itu banyak peminatnya.
Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Wa in tuthi’ aktsara man fil
ardhi yudhilluuka ‘an sabiilillah. In yattabi’uuna illadzh-dzhonna wa in hum
illa yakhrushuun”;
“Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS.Al-An’am:116).
“Wamaa wajadnaa li aktsarihim min
‘ahdin. Wa in wajadnaa aktsarahum lafaasiqiin”
“Dan kami
tidak mendapati kebanyakan mereka berjanji. Sesungguhnya kami mendapati
kebanyakan mereka orang-orang yang fasik”(QS.Al-An’am: 102).
Nabi s.a.w
bersabda: “Bada-al Islaamu ghariiban, wa
saya’uudu ghariiban kamaa bada-a”; “Islam pada mulanya (hadir) dianggap sebagai
hal yang aneh (asing), dan kelak ia akan kembali sebagai hal yang asing
sebagaimana dahulu ia datang”. Allahu A’lam bishawaab.
Materi 12
Mengikuti Rasul (Ittiba’ur Rasuul)
Lawan dari istilah “at-taqlid
al-a’maa” atau dalam istilah kita: “fanatisme buta” (blind obedience), yang
tergolong dalam salah satu perangai kaum jahiliyah adalah “at-taqlid fil
khair”, yakni mengikuti dalam ruang lingkup kebaikan, dalam istilah Islam
disebut Ittiba’ dan Iqtida’ yakni mengikuti dan meneladani. Sebagaimana yang
termaktub dalam (QS.Yusuf:38), firman Allah SWT tentang kisah Nabi Yusuf a.s: “Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku
Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Allah.”(QS.Yusuf:38).
Dan di dalam QS.At-Taubah:10
“Wassaabiquunal awwaluuna minal
muhaajiriina wal anshaari walladziinat-taba’uuhum bi ihsanin, radhiyallahu
‘anhu wa radhuu ‘anhu. Wa a’adda lahum jannaatin tajrii min tahtihaal anhaaru
khaalidiina fiiha abadan. Dzalikal fawzul adhziim”;
“Orang-orang yang terdahulu yang
pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”(QS.At-Taubah:100).
Maka dari itu Allah berfirman
dalam hal perangai jahiliyah:
“Wa idzaa qiila lahumut-tabi’uu
maa anzalallahu qaaluu bal nattabi’u maa alfayna ‘alaihi aabaa-ana awalaw kaana
aabaa-uhum laa ya’qiluuna syai’an walaa yahtaduun.”
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak),
tatapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka
itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? (QS.Al Baqarah:
170).
Sesungguhnya tidak akan
mendatangkan maslahat (kebaikan), jika orang yang tidak berpikir dan tidak pula
mendapat petunjuk (hidayah) dijadikan sebagai teladan dan panutan. Pada
dasarnya teladan itu hanyalah tertuju pada orang yang mau berpikir dan mendapat
hidayah. Maka dari itu, fanatisme yang berlebihan memantik untuk menolak
kebenaran yang hakiki, karena pada dasarnya, kebenaran yang hakiki dan teladan
yang terbaik hanya ada pada diri Rasulullah dan para pengikutnya.
Materi 13
Menjaga Diri dan Keluarga dari
Api Neraka (Bagian Pertama)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
“Wahai orang-orang yang beriman,
jagalah diri kalian dan keluarga
kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Sebuah seruan dari
Dzat Yang Maha Agung kepada orang-orang yang beriman, berisi perintah dan
peringatan berikut kabar tentang bahaya besar yang mengancam. Seruan ini
ditujukan kepada insan beriman, karena hanya mereka yang mau mencurahkan
pendengaran kepada ajakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang dengan
perintah-Nya dan mengambil manfaat dari
ucapan-ucapan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka agar
menyiapkan tameng untuk diri mereka sendiri dan untuk keluarga
mereka guna menangkal bahaya yang ada di hadapan mereka serta kebinasaan di
jalan mereka. Bahaya yang mengerikan itu adalah api neraka yang sangat besar,
tidak sama dengan api yang biasa kita kenal, yang dapat dinyalakan dengan kayu
bakar dan dipadamkan oleh air. Api neraka ini bahan bakarnya adalah tubuh-tubuh
manusia dan batu-batu. Ini berbeda sama sekali dengan api di dunia. Bila orang
terbakar dengan api dunia, ia pun meninggal berpisah dengan kehidupan dan tidak
lagi merasakan sakitnya pembakaran tersebut. Beda halnya bila seseorang dibakar
dengan api neraka, na’udzubillah. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Setiap
kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.”
(Al –Isra’:97)
“Setiap
kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain,
supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)
“Mereka
tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian
(mereka tidak mati dengan siksaan di neraka
bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula
diringankan azabnya dari mereka.”
(Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat
Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan subjudul Fit
Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]
Orang yang masuk ke dalam api yang sangat besar
ini tidak mungkin dapat lari untuk meloloskan diri, karena yang menjaganya adalah para malaikat yang kasar, yang keras,
yang tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Penjaganya
adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras” (At-Tahrim: 6)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan,
“Penjaganya adalah para malaikat Zabaniyah yang hati mereka keras, kaku, tidak
mengasihi jika dimohon kepada mereka agar menaruh iba…
Kata شِدَادٌ
maksudnya keras tubuh mereka. Ada yang mengatakan, para malaikat itu kasar
ucapannya dan keras perbuatannya. Ada yang berpendapat, malaikat tersebut
sangat kasar dalam menyiksa penduduk neraka, keras
terhadap mereka. Bila dalam bahasa Arab dinyatakan: “Fulanun Syadiidun ‘alaa
fulaanin” maksudnya Fulan menguasainya dengan kuat, menyiksanya dengan berbagai
macam siksaan.
Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan غِلَاظٌ adalah
sangat besar tubuh mereka, sedangkan maksud شِدَادٌ
adalah kuat.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
“Jarak antara dua pundak salah seorang dari malaikat tersebut adalah sejauh
perjalanan setahun. Kekuatan salah seorang dari
mereka adalah bila ia memukul dengan alat pukul niscaya dengan sekali pukulan
tersebut tersungkur 70.000 manusia ke dalam jurang Jahannam.” (Al-Jami’
li Ahkamil Qur’an, 18/218)
Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir
As-Sa’di rahimahullahu berkata menafsirkan ayat ke-6 surah At-Tahrim
di atas, “Jagalah diri kalian dan keluarga
kalian dari api neraka, yang disebutkan dengan sifat-sifat yang
mengerikan. Ayat ini menunjukkan perintah menjaga
diri dari api neraka
tersebut dengan ber-iltizam (berpegang teguh) terhadap perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan
bertaubat dari perbuatan yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala murkai serta perbuatan yang menyebabkan azab-Nya. Sebagaimana ayat
ini mengharuskan seseorang menjaga keluarga dan anak-anak dari api
neraka dengan cara memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada mereka, serta memberitahu mereka tentang perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Seorang hamba tidak dapat selamat kecuali bila ia menegakkan
apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan terhadap dirinya dan
orang-orang yang di bawah penguasaannya, baik istri-istrinya, anak-anaknya, dan
selain mereka dari orang-orang yang berada di bawah
kekuasaan dan pengaturannya.
Dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan neraka dengan sifat-sifat yang
mengerikan agar menjadi peringatan terhadap manusia jangan sampai meremehkan
perkaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“…yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu…” (At-Tahrim: 6)
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
“Sesungguhnya
kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah (patung-patung) adalah bahan
bakar/kayu bakar Jahannam, kalian sungguh akan mendatangi Jahannam tersebut.”1
Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan
keras. Yaitu akhlak mereka kasar dan hardikan mereka keras. Mereka membuat
kaget dengan suara mereka dan membuat ngeri dengan penampilan mereka. Mereka
melemahkan penghuni neraka dengan kekuatan mereka
dan menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap penghuni neraka, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memastikan azab atas penghuni neraka ini dan
mengharuskan azab yang pedih untuk mereka.
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkankan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. Di sini juga ada pujian untuk para malaikat yang mulia dan
terikatnya mereka kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta
ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh perkara
yang diperintahkan-Nya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)
Materi 14
Jagalah
Dirimu dan Keluargamu dari Api Neraka
(Bagian Ketiga):
Penjagaan
Rasulullah SAW terhadap Keluarganya
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai uswah hasanah bagi
orang-orang yang beriman telah memberikan arahkan dan peringatan kepada kerabat
beliau dalam rangka menjaga mereka dari api neraka. Tatkala turun
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat: “Berilah peringatan
kepada kerabatmu yang terdekat.” (Asy Syu’ara: 214)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi bukit Shafa dan menaikinya,
lalu menyeru manusia untuk berkumpul. Maka orang-orang pun berkumpul di sekitar beliau. Sampai-sampai yang tidak
dapat hadir mengirim utusannya untuk mendengarkan apa gerangan yang akan
disampaikan oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam kemudian memanggil kerabat-kerabatnya, “Wahai Bani Abdil Muththallib! Wahai Bani
Fihr! Wahai Bani Lu’ai! Apa pendapat kalian andai aku beritakan kepada kalian
bahwa ada pasukan berkuda dari balik bukit ini akan
menyerang kalian. Adakah kalian akan membenarkan aku?” Mereka serempak
menjawab, “Iya.” Beliau melanjutkan, “Sungguh aku memperingatkan kalian sebelum
datangnya azab yang pedih.” (HR Al-Bukhari dan Muslim
dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma). Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitakan bahwa ketika
turun ayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit
seraya berkata, “Wahai Fathimah putri Muhammad! Wahai Shafiyyah putrid Abdul
Muththalib! Wahai Bani Abdil Muththalib! Aku tidak memiliki kuasa sedikit pun
di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menolong kalian kelak. (Adapun di kehidupan dunia ini) maka
mintalah harta dariku semau kalian.” (HR.
Muslim)
Al-Imam Muslim radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu
‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa bila hendak
shalat witir, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membangunkan Aisyah radhiyallahu
‘anha. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah
bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu:
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki
yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya
lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia
percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang
bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si
suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air
di wajah suaminya.” (Sanad hadits ini shahih kata Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu
dalam tahqiqnya terhadap Al-Musnad). Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anha mengabarkan, suatu malam Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam terbangun dari tidur beliau.
Beliau pun membangunkan istri-istri beliau untuk mengerjakan shalat. Kata
beliau: “Bangunlah, wahai para pemilik kamar-kamar (istri-istri beliau yang
sedang tidur di kamarnya masing-masing)!” (HR. Al-Bukhari) Tidak luput pula putri dan menantu beliau
juga mendapatkan perhatian beliau. Suatu malam, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam mendatangi rumah Ali dan Fathima radhiyallahu ‘anhuma.
Beliau berkata, “Tidaklah kalian berdua mengerjakan shalat malam?” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari
hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)
Materi 15
Jagalah Dirimu dan Keluargamu dari
Api Neraka (Bagian Ketiga): Suami sebagai
Kepala Rumah Tangga
Seorang suami sebagai kepala rumah tangga selain menjaga
dirinya sendiri dari api neraka,
ia juga bertanggung jawab menjaga istri,
anak-anaknya, dan orang-orang yang tinggal di rumahnya. Salah satu cara penjagaan diri dan keluarga dari api neraka adalah
bertaubat dari dosa-dosa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nashuha. Mudah-mudahan Rabb
kalian menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya, sedang cahaya
mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berdoa,
‘Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami,
sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.” (At-Tahrim:
8)
Seorang suami
sekaligus ayah ini bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
sebenar-benarnya, taubat yang murni, kemudian ia membimbing keluarganya untuk bertaubat. Taubat yang dilakukan
disertai dengan meninggalkan dosa, menyesalinya, berketetapan hati untuk tidak
mengulanginya, dan mengembalikan hak-hak orang lain yang ada pada kita. Taubat
yang seperti itu tentunya menggiring pelakunya untuk beramal shalih. Buah yang
dihasilkannya adalah dihapuskannya kesalahan-kesalahan yang diperbuat,
dimasukkan ke dalam surga, dan diselamatkan dari
kerendahan serta kehinaan yang biasa menimpa para pendosa dan pendurhaka.
Seorang
kepala rumah tangga menerapkan perkara ini dalam keluarganya,
kepada istri dan anak-anaknya. Ia punya hak untuk memaksa mereka agar taat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak berbuat maksiat, karena ia
adalah pemimpin mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu
wa Ta’ala kelak dalam urusan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari hadits Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma)
Ia
harus memaksa anaknya mengerjakan shalat bila telah sampai usianya, berdasar
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Perintahkan anak-anak kalian untuk
mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka
bila enggan melakukannya ketika telah berusia sepuluh tahun serta pisahkanlah
di antara mereka pada tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud dari hadits Abdullah ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma,
dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Abi Dawud, “Hadits ini hasan shahih.”)
Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah berfirman:
“Perintahkanlah keluargamu
untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.”
(Thaha: 132)
Seorang
ayah bersama seorang ibu harus bekerja sama untuk menunaikan tanggung jawab
bersama anak, baik di dalam maupun di luar rumah. Anak harus terus mendapatkan
pengawasan di mana saja mereka berada, dijauhkan dari teman duduk yang jelek
dan teman yang rusak. Anak diperintahkan untuk mengerjakan yang ma’ruf dan
dilarang dari mengerjakan yang munkar.
Orangtua
harus membersihkan rumah mereka dari sarana-sarana
yang merusak berupa video, film, musik, gambar bernyawa, buku-buku yang
menyimpang, surat kabar, dan majalah yang merusak.
Hendaknya
ia tahu bahwa neraka itu dekat dengan seorang hamba,
sebagaimana surga pun dekat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Surga lebih dekat kepada salah seorang
dari kalian daripada tali sandalnya
dan neraka pun semisal itu.” (HR.
Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu)
Maksud
hadits di atas, siapa yang meninggal di atas ketaatan maka ia akan dimasukkan
ke dalam surga. Sebaliknya, siapa yang meninggal dalam keadaan bermaksiat maka
ia akan dimasukkan ke dalam neraka. (Al-Khuthab
Al-Minbariyyah, 2/217)
Bagaimana seseorang dapat menjaga
keluarganya dari api neraka sementara ia membiarkan mereka bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan kewajiban?
Maka, marilah kita berbenah diri untuk menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Bersegeralah
sebelum datang akhir hidup kita, sebelum datang jemputan dari utusan Rabbul
Izzah, sementara kita tak cukup ‘bekal’ untuk bertameng dari
api neraka, apatah lagi meninggalkan ‘bekal’ yang
memadai untuk keluarga yang ditinggalkan. Allahumma
sallim!
Materi 16
Meraih Rahmat Allah
Sebagai
manusia apalagi sebagai muslim, kita tentu amat mengharapkan rahmat dari Allah
Swt sehingga kita selalu berdo’a, baik di dalam shalat maupun di luar shalat
untuk bisa memperoleh rahmat Allah. Hal ini karena orang yang mendapat rahmat
Allah tentu saja tergolong kedalam kelompok orang yang beruntung sebagaimana
firman Allah yang artinya: Kemudian kamu berpaling setelah (adanya
perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmt-Nya atasmu,
niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi (QS 2:64). Bahkan di dalam
ayat lain, keuntungan orang yang mendapat rahmat Allah itu akan dijauhkan dari
azab-Nya, Allah berfirman yang artinya: Barangsiapa yang diajuhkan azab
daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat
kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata (QS 6:16).
Kiat Meraih Rahmat
Pertama,
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dalam keadaan susah maupun senang, berat
maupun ringan, waktu sendiri atau bersama orang lain. Tegasnya, kalau mau
memperoleh rahmat Allah kita harus taat kepada Allah dan rasul-Nya dalam
situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga, hal ini terdapat dalam firman Allah
yang artinya: Dan taatilah Allah dan Rasul supaya kamu diberi rahmat
(3:132).
Kedua, harus
tolong menolong dalam kebaikan, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar,
mendirikan shalat sehingga memberi pengaruh yang besar dalam bentuk menhindari
perbuatan keji dan munkar serta menunaikan zakat agar menjadi suci jiwa kita,
terjembatani hubungan antara yang kaya dengan yang miskin serta kemiskinan bisa
diatasi secara bertahap, hal ini difirmankan Allah yang artinya: Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (9:71)
Ketiga, Iman
yang kokoh sehingga bisa dibuktikan dengan amal shaleh yang sebanyak-banyak
meskipun hambatan, tantangan dan rintangan selalu menghadang, namun dia tetap
Istiqomah dalam keimanannya sehingga dengan keimanannya yang mantap itu,
kesusahan hidup tidak membuatnya harus berputus asa sedang kesenangan hidup
tidak membuatnya menjadi lupa diri, hal ini difirmankan Allah yang
artinya: Adapun orang-orang yang beriman dan berpegang teguh kepada
(agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar
dari-Nya (syurga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan
yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya (QS 4:175).
Disamping
itu, iman dan istiqomah harus disertai dengan hijrah, yakni meninggalkan segala
bentuk larangan Allah dan berjihad dalam arti bersungguh-sungguh dalam
perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam dalam segala aspeknya, hal ini
difirmankan Allah yang artinya: Orang-orang yang beriman, berhijrah dan
berjihad adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan
rahmat daripada-Ny, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya
kesenangan yang kekal (QS 9:20-21, lihat juga QS 2:218).
Keempat,
mengikuti Al-Qur’an dan selalu bertaqwa kepada Allah serta menunaikan zakat,
hal ini karena Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia apabila ia ingin
memperolah ketaqwaan kepada Allah Swt, karenanya untuk meraih rahmat Allah
manusia harus bertaqwa kepada-Nya, sedang untuk bisa bertaqwa harus mengikuti
petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Ini berarti, amat mustahil
bagi manusia untuk bisa bertaqwa kepada Allah apabila Al-Qur’an tidak
diikutinya. Dalam kaitan ini Allah berfirman yang artinya: Dan
Al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia
dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat (QS 6:155). Maka Aku akan
tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami QS 7:156)
Keempat,
berbuat baik, yakni perbuatan apa saja yang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai yang datang dari Allah dan Rasul-Nya serta tidak mengganggu orang
lain, bahkan orang lain bisa merasakan manfaat baiknya, sekecil apapun manfaat
yang bisa dirasakannya. Allah berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah
kepadanya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik (QS 7:56).
Kelima, mendengarkan
bacaan Al-Qur’an apabila sedang dibacakan, hal ini karena, Al-Qur’an merupakan
kalamullah atau perkataan Allah, sebab jangankan Allah, pembicaraan sesama
manusia saja harus kita dengarkan atau kita perhatikan, apalagi kalau ucapan
Allah yang tentu harus lebih kita perhatikan. Manakala seorang muslim telah
mendengarkan Al-Qur’an bila dibacakan, maka Allah senang pada orang tersebut
sehingga Allah mau memberi rahmat kepadanya. Allah berfirman yang artinya: Dan
apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (QS 7:204).
Keenam, taubat dari
segala dosa yang telah dilakukan, hal ini karena secara harfiyah, taubat
berarti kembali, yakni kembali kepada Allah. Dengan taubat, manusia berarti mau
mendekati Allah lagi dan Allah senang kepada siapa saja yang mau bertaubat,
sebanyak apapun dosa yang sudah dilakukannya, menyadari terhadap kesalahan yang
dilakukan. Menyesali, bertekad untuk tidak mengulanginya dan membuktikan bahwa
dia betul-betul telah meninggalkan segala perbuatan salahnya dengan
menggantinya kepada segala kebaikan., inilah yang membuat Allah cinta kepadanya
sehingga rahmat Allah akan diberikan kepadanya, hal ini difirmankan Allah yang
artinya: Dia (Nabi Shaleh) berkata: Hai kaumku mengapa kamu minta
disegerakan keburukan sebelum (kamu minta) kebaikan?. Hendaklah kamu minta
ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat (QS 27:46).
Ayat yang menyebutkan kecintaan Allah kepada
orang yang bertaubat adalah yang artinya: “Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang
membersihkan diri” (QS 2:222).
Materi 17
Ukhuwah Islamiyah
“Tidaklah dua orang muslim berjumpa, lalu keduanya berjabat tangan, kecuali keduanya diampuni sebelum keduanya bepisah.” (H.R. Abu Daud)
Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwatha’ dari abi Idris Al Khaulany rahimahullah bahwa ia berkata: “Aku pernah masuk Masjid Damaskus. Tiba-tiba aku jumpai seorang pemuda yang murah senyum yang dikerumuni banyak orang. Jika Mereka berselisih tentang sesuatu maka mereka mengembalikan kepada pemuda tersebut dan meminta pendapatnya. Aku bertanya tentang dia, lalu dikatakan oleh mereka,’Ini Muadz bin Jabal.’ Keesokan harinya , pagi-pagi sekali aku dating ke masjid itu lagi dan kudapati dia telah berada di sana tengah melakukan shalat. Kutunggu ampai dia selesai melakukan shalat kemudian aku temui dan kuucapkan salam kepadanya. Aku berkata,’Demi Alloh aku mencintaimu. Lalu ia bertanya.’Apakah Alloh tidak lebih kau cintai?’ Aku jawab,’Ya Alloh aku cintai’. Lalu ia memegang ujung selendangku dan menariknya seraya berkata,’Bergembiralah karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw, berabda,”Alloh berfirman, cinta-Ku pasti akan mereka peroleh bagi orang yang saling memadu cinta karena Aku, saling mengunjungi karena Aku, dan saling memberi karena Aku.”
Makna Ukhuwah Islamiyah
Kata ukhuwah berakar dari kata
kerja akha, misalnya dalam kalimat “akha fulanun shalihan”, (Fulan menjadikan
Shalih sebagai saudara). Makna ukhuwah menurut Imam Hasan Al Banna: Ukhuwah
Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah.
Hakekat Ukhuwah Islamiyah:
Hakekat Ukhuwah Islamiyah:
1.Nikmat Allah (Q.S. 3:103)
2.Perumpamaan tali tasbih (Q.S.43:67)
3.Merupakan arahan Rabbani (Q.S. 8:63)
4.Merupakan cermin kekuatan iman (Q.S.49:10)
Ukhuwah Islamiyah bersifat abadi
dan universal karena berdasarkan akidah dan syariat Islam. Ukhuwah Jahiliyah
bersifat temporer (terbatas waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan
akidah (missal:ikatan keturunan orang tua-anak, perkawinan, nasionalisme,
kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi)
Materi 18
Peringkat-Peringkat Ukhuwah
Peringkat-Peringkat Ukhuwah:
1.
Ta’aruf adalah saling mengenal
sesama manusia. Saling mengenal antara kaum muslimin merupakan wujud nyata
ketaatan kepada perintah Allah SWT (Q.S. Al Hujurat: 13)
2. Tafahum adalah saling memahami. Hendaknya seorang muslim
memperhatikan keadaan saudaranya agar bisa bersegera memberikan pertolongan
sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya
yang harus ia tunaikan. Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau
bersabda, “Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah
akan menghilangkan satu kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa menutupi aib
di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong
saudaranya.” (H.R. Muslim)
3. Ta’awun adalah saling
bekerja sama dan membantu tentu saja dalam kebaikan dan meninggalkan
kemungkaran
4. Takaful, adalah
saling menanggung kesulitan yang dialami saudaranya
Hal-hal yang menguatkan ukhuwah islamiyah:
1.
Memberitahukan kecintaan kepada yang kita cintai. Hadits yang diriwayatkan
oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “ Ada seseorang berada di
samping Rasulullah lalu salah seorang sahabat berlalu di depannya. Orang
yang disamping Rasulullah tadi berkata: ‘Aku mencintai dia, ya Rasullah.’ Lalu
Nabi menjawab: ‘Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?’ Orang tersebut
menjawab: ‘Belum.’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Beritahukan kepadanya.’ Lalu
orang tersebut memberitahukan kepadanya seraya berkata: ‘ Sesungguhnya aku
mencintaimu karena Allah.’ Kemudian orang yang dicintai itu menjawab: ‘Semoga
Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.”
2.
Memohon didoakan bila berpisah “Tidak
seorang hamba mukmin berdo’a untuk saudaranya dari kejauhan melainkan malaikat
berkata: ‘Dan bagimu juga seperti itu” (H.R. Muslim)
3.
Menunjukkan kegembiraan dan
senyuman bila berjumpa “Janganlah engkau meremehkan kebaikan (apa saja yang
dating dari saudaramu), dan jika kamu berjumpa dengan saudaramu maka berikan
dia senyum kegembiraan.” (H.R. Muslim)
4.
Berjabat tangan bila berjumpa
(kecuali non muhrim) “Tidak ada dua orang mukmin yang berjumpa lalu berjabatan
tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (H.R Abu Daud dari
Barra’)
5.
Sering bersilaturahmi (mengunjungi
saudara)
6.
Memberikan hadiah pada waktu-waktu
tertentu
7.
Memperhatikan saudaranya dan
membantu keperluannya
8.
Memenuhi hak ukhuwah saudaranya
9. Mengucapkan selamat
berkenaan dengan saat-saat keberhasilan
Materi 17
Manfaat Ukhuwah Islamiyah
Manfaat Ukhuwah Islamiyah
- Merasakan lezatnya iman
- Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi)
- Mendapatkan tempat khusus di surga (Q.S. 15:45-48)
Di antara unsur-unsur pokok dalam ukhuwah adalah cinta. Tingkatan cinta yang paling rendah adalah husnudzon yang menggambarkan bersihnya hati dari perasaan hasad, benci, dengki, dan bersih dari sebab sebab permusuhan. Al-Qur’an menganggap permusuhan dan saling membenci itu sebagai siksaan yang dijatuhkan Allah atas orang0orang yang kufur terhadap risalahNya dan menyimpang dari ayat-ayatNya. Sebagaiman firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Ma’idah:14
Ada lagi
derajat (tingkatan) yang lebih tinggi dari lapang dada (Salamatus shadr)) dan
cinta, yaitu itsar. Itsar adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas
kepentingan diri sendiri dalam segala sesuatu yang dicintai. Ia rela lapar demi
kenyangnya orang lain. Ia rela haus demi puasnya prang lain. Ia rela berjaga demi tidurnya orang lain. Ia rela
bersusah payah demi istirahatnya orang lain. Ia pun rela ditembus peluru dadanya
demi selamatnya orang lain. Islam menginginkan dengan sangat agar cinta dan
persaudaraan antara sesama manusia bisa merata di semua bangsa, antara sebagian
dengan sebagian yang lain. Islam tidak bisa dipecah-belah dengan perbedaan
unsure, warna kulit, bahasa, iklim, dan atau batas negara, sehingga tidak ada
kesempatan untuk bertikai atau saling dengki, meskipun berbeda-beda dalam harta
dan kedudukan.
Materi 18
Mengatasi Kesenjangan Sosial Dalam Islam
Adalah
sudah menjadi fakta, bahwa kegiatan ekonomi sekarang adalah melahirkan
kesenjangan pendapatan yang semakin lebar dan semakin besar. Misalnya,
sebagaimana dikemukakan dalam Human Development Report 2006 yang diterbitkan oleh
UNDP (United Nations Development Programme). Berdasarkan laporan tersebut, 10%
kelompok kaya dunia menguasai 54% total kekayaan dunia. Sedangkan sisanya 90%
masyarakat dunia menguasai 46% total kekayaan dunia (Beik, 2006). Salah satu
faktor utama yang menyebabkan besarnya kesenjangan pendapatan tersebut adalah
karena ketiadaan mekanisme distribusi kekayaan yang mencerminkan prinsip
keadilan dan keseimbangan, sehingga kekayaan terkonsentrasi di tangan
segelintir kelompok. Padahal Allah SWT sangat menentang perputaran harta di
tangan kelompok elit masyarakat saja, sebagaimana yang dinyatakan-Nya dalam QS
Al-Hasyr: 7: “....supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu...” (QS. al-Hasyr: 7).
Dalam ajaran Islam, salah satu
mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan ini adalah melalui instrumen
zakat, infak dan sedekah (ZIS). Rasulullah SAW, dalam sebuah Hadits riwayat
Imam al-Ashbahani dari Imam Thabrani, menyatakan: “Sesungguhnya Allah SWT
telah mewajibkan atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang dapat
menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita
kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada
hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan
meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan
siksaan yang pedih” (HR. Thabrani dalam Al Ausath dan Ash Shoghir).
Hadits
tersebut memberikan dua isyarat. Pertama, kemiskinan bukanlah
semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan kultural), akan
tetapi juga akibat dari pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural)
dan merosotnya kesetiakawanan sosial, terutama antara kelompok kaya dan
kelompok miskin. Lapoe dan Colin (1978) serta George (1981) menyatakan bahwa
penyebab utama kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi akibat adanya
sekelompok kecil orang-orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak,
dan bukannya disebabkan oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over
population). Kedua, jika zakat, infak, dan sedekah dapat dilaksanakan
dengan penuh kesadaran dan dikelola dengan baik, apakah dalam aspek pengumpulan
ataupun dalam aspek pendistribusian, kemiskinan dan kefakiran ini akan dapat
ditanggulangi, paling tidak dapat diperkecil (Hafidhuddin, 1998). Dalam Alquran
dan Hadits, zakat, infaq dan sedekah di samping sering digandengkan dengan
salat, juga digandengkan dengan kegiatan riba, misalnya dalam QS. Ar-Rum: 39
dan QS. Al-Baqarah: 276. Hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi ZIS akan
memperkecil kegiatan ekonomi yang bersifat ribawi.
Karena itu, gerakan penyadaran zakat
hakikatnya adalah gerakan untuk menghilangkan kesenjangan, baik kesenjangan
pendapatan maupun kesenjangan sosial, yang berbahaya bagi kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
Materi 19
Al Qur’an Terjaga
Keasliannya
Walaupun terjadi penyimpangan di sana-sini terhadap
Al-qur’an, tetapi pada akhirnya penyimpangan tersebut akan terkalahkan dan
Allah akan meluruskan kembali. Sungguh Allah telah menentukan hal demikian,
sebagai sunatullah, agar kita berlomba-lomba dalam beramal dan nyata antara
yang benar dan yang salah. “Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Al-Quran, dan Kami tentu menjaganya.” (QS 15:9)
Di satu sisi
banyak umat mendustakan, di satu sisi lain akan banyak umat yang membenarkan.
Telah dibuktikan secara ilmiah oleh ilmuwan-ilmuwan kaliber dunia bahwa
Al-qur’an adalah ayat-ayat yang berlaku sepanjang masa dan penemuan-penemuan
ilmiah mereka ternyata hanya membenarkan dan memperjelas kandungan-kandungan
dan hukum-hukum yang telah dicantumkan dalam Al-qur’an.
”Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar (sumber
sinar) dan bulan bercahaya (memantulkan cahaya) dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat, garis edar yang tetap) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui (berilmu)”. (Surat 10: Yunus ayat 5).
Al-qur’an
adalah proyek Allah berisi tuntunan keselamatan kehidupan universal, dan dengan
keterbatasan manusia yang hanya diberikan ilmu dan kemampuan sedikit dan
dipenuhi nafsu serakah dan selalu dikelilingi setan (manusia dan jin) akan
menjadi tersesat jika menafsirkan Al-qur’an dengan hawa nafsunya.
Banyak cara
Allah menjaga Al-Qur’an. Sejak zaman rosulullah, ada ribuan penghafal-penghafal
Al-qur’an sehingga tidak akan ada kekeliruan penyalinan ayat, dan jika ada akan
langsung terbongkar. Apalagi sekarang, ada jutaan penghafal Al-Qur’an. Disamping
itu, telah ditemukan rumus-rumus matematika sangat menakjubkan, jelas diluar
kemampuan manusia apalagi Muhammad yang buta huruf, dengan temuan
tersebut akan menjadikan sangat memudahkan “menemukan Al-Qur’an Palsu”.
Setiap muslim pasti meyakini kebenaran Quran sebagai kitab suci yang tidak ada keraguan sedikitpun, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Namun kemukjizatan Quran tidak hanya dibuktikan lewat kesempurnaan kandungan, keindahan bahasa, ataupun kebenaran ilmiah yang sering mengejutkan para ahli. Suatu kode matematik yang terkandung di dalamnya misalnya, tak terungkap selama berabad-abad lamanya sampai seorang sarjana pertanian Mesir bernama Rashad Khalifa berhasil menyingkap tabir kerahasiaan tersebut. Hasil penelitiannya yang dilakukan selama bertahun-tahun dengan bantuan komputer ternyata sangat mencengangkan. Betapa tidak, ternyata didapati bukti-bukti surat-surat/ayat-ayat dalam Quran serba berkelipatan angka 19.
Penemuannya tersebut berkat penafsirannya pada surat ke-74 ayat : 30-31,
yang artinya :
" Di atasnya ada sembilanbelas (malaikat penjaga). (QS. 74:30)
Materi 20
Pengertian Al Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan
mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ)
yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya bererti: membaca], atau
bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a
Qor’an Wa Qur’aanan (قرأ قرءا وقرآنا) sama seperti anda menuturkan, Ghofaro
Ghafran Wa Qhufroonan (غفر غفرا وغفرانا). Berdasarkan makna pertama (Yakni:
Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul,
ertinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a)
maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, ertinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi)
kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*
Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah
Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya,
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Naas.
Allah
ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu
(hai Muhammad) dengan beransur-ansur.” (al-Insaan:23)
Dan
firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah
ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah,
mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya
sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesunggunya Kami-lah yang menurunkan
al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)
Oleh
kerana itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun
musuh-musuh Allah yang berupaya untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau
pun menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan membuka
tipudayanya.
Allah
ta’ala menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan
keagungan, keberkatan, pengaruhnya dan keuniversalannya serta menunjukkan
bahawa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya.
Allah
ta’ala berfirman, “Dan sesunguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat
yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung.” (al-Hijr:87)
Dan
firman-Nya, “Qaaf, Demi al-Quran yang sangat mulia.” (Qaaf:1)
Dan
firman-Nya, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shaad:29)
Dan
firman-Nya, “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang
diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.”
(al-An’am:155)
Dan
firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.”
(al-Waqi’ah:77)
Dan
firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan )
yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang
menjajakan amal saleh bahawa bagi mereka ada pahala yang benar.”
(al-Isra’:9)
Dan
firman-Nya, “Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah
gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut
kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr:21)
Dan
firman-Nya, “Dan apabila diturunkan suatu surah maka di antara mereka
(orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah
imannya dengan (turunnya) surat ini.? ‘ Adapun orang-orang yang beriman, maka
surah ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang
yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surah ini bertambah
kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati
dalam keadaan kafir.” (at-Taubah:124-125)
Dan
firman-Nya, “Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an
(kepadanya)…” (al-An’am:19)
Dan firman-Nya, “Maka janganlah kamu
mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an
dengan jihad yang benar.” (al-Furqan:52)
Dan firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu
al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:89)
Dan firman-Nya, “Dan Kami telah turunkan
kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
iaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian* terhadap
kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan…” (al-Maa’idah:48)
Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber syari’at
Islam yang kerananya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam diutus kepada
seluruh umat manusia. Allah ta’ala berfirman,
Dan firman-Nya, “Maha suci Allah yang telah
menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (al-Furqaan:1)
Sedangkan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam juga merupakan sumber Tasyri’ (legislasi hukum Islam) sebagaimana yang
dikukuhkan oleh al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang menta’ati
Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa’:80)
Dan firman-Nya, “Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (al-Ahzab:36)
Dan firman-Nya, “Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah…” (al-Hasyr:7)
Dan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, nescaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31)
Materi 21
Manfaat Membaca Al Qur’an
Sebagai
wahyu yang Allah turunkan kepada nabi-Nya, tentu al-Qur'an memiliki keutamaan
dan keistimewaan tersendiri bagi para pembaca dan penggemarnya. Ayat-ayat
al-qur'an yang kita baca sehari-sehari tidak lepas dari karunia Allah untuk
setiap muslim yang demikian besar. Karena saking istimewanya al-Qur'an ini dari
kitab-kitab samawi lainnya, Allah memberikan tempat istimewa bagi para
pecintanya.
Oleh karena bagi anda yang ingin memaksimalkan peran al-Qur'an dalam kehidupan, nampaknya harus lebih banyak lagi mengetahui manfaat dan perannya, terutama untuk kehidupan. Di antara manfaat itu adalah:
1. Ayat-ayat al-Qur'an yang dibaca setiap hari akan memberikan motivasi dan penyemangat bagi si pembacanya.
Oleh karena bagi anda yang ingin memaksimalkan peran al-Qur'an dalam kehidupan, nampaknya harus lebih banyak lagi mengetahui manfaat dan perannya, terutama untuk kehidupan. Di antara manfaat itu adalah:
1. Ayat-ayat al-Qur'an yang dibaca setiap hari akan memberikan motivasi dan penyemangat bagi si pembacanya.
2.
Ketika membaca al-Qur'an, Allah menegur diri kita pada setiap ayat-ayat Nya.
3.
Bacaan al-Qur'an yang melibatkan emosi akan memberikan kedamaian dan ketenangan
yang tidak bisa dilukiskan, seperti yang dialami dan dirasakan oleh Sayyid
Quthb Rahimahullah.
4.
Orang yang membaca al-Qur'an akan senantiasa ingat Allah dan kembali
kepada-Nya.
5.
Orang yang membaca al-Qur'an akan selalu berada dalam kecukupan dan nikmat
Allah meski ia merasakan serba kurang di dunia.
6.
Ayat-ayat Alloh akan menjadi penjaganya selama ia hidup di dunia, karena ia
telah menjaga ayat-ayat-Nya.
7.
Orang yang paham al-Qur'an adalah orang yang memiliki banyak ilmu.
8.
Orang yang membaca al-Qur'an bagaikan orang yang sedang menyelami samudera
kehidupan, dan mengambil manfaat darinya.
9.
Orang yang selalu akrab dengan ayat-ayat akan diberikan jiwa yang sejuk, hati
yang damai dan pikiran yang jernih, sehingga membuatnya ingin selalu beramal,
kreatif, inovatif dan produktif.
10.
Orang yang membaca al-Qur'an akan selalu berada dalam kegembiraan dan penuh
harapan, di saat orang lain merasakan kesedihan, kecemasan dan rasa pesimis.
Karena diri mereka selalu dipompa dengan siraman ayat-ayat-Nya yang lembut.
11.
Orang yang rajin membaca al-Qur'an akan selalu diberikan jalan kemudahan dan
petunjuk sehingga tidak mudah untuk menyimpang dan menyerah karena ayat-ayat
Allah akan selalu mengingatkan dirinya ketika dirinya 'tersandung dosa dan
maksiat.'
12.
Orang yang membaca dan menjaga al-Qur'an selalu berada dalam lindungan dan
penjagaan Allah. Ayat-ayat al-Qur'an mengajak pembacanya untuk senantiasa
berpikir, merenung dan beramal sebanyak-banyaknya.
Dan masih banyak manfaat-manfaat lainnya yang terus update dengan kondisi kehidupan kita...Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu belajar dan meningkatkan diri untuk lebih dekat lagi dengan al-Qur'an...Amiin
Dan masih banyak manfaat-manfaat lainnya yang terus update dengan kondisi kehidupan kita...Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu belajar dan meningkatkan diri untuk lebih dekat lagi dengan al-Qur'an...Amiin
Materi 22
Al Qur’an Mu’jizat (Bagian
Pertama): Membaguskan Bacaan Al Qur’an
Al
Qur'an Al Karim merupakan mu'jizat Rasul yang agung termasuk mu'jizat yang
indah selain juga mu'jizat yang logis. Ia telah membuat bangsa Arab tidak mampu
berkutik, yaitu dengan keindahan bayannya, kerapian susunan dan uslubnya, dan
keunikan suaranya apabila dibaca, sehingga sebagian mereka menamakannya
"Sihir."
Para
ulama balaghah dan para sastrawan bangsa Arab sejak masa Abdul Qahir sampai
Ar-Raf"i dan Sayyid Quthb dan selain mereka pada zaman kita ini telah
menjelaskan sisi I'jaz bayani (kejelasan mu'jizat) atau sisi keindahan dalam
kitab ini. Yang dituntut di dalam membaca Al Qur'an adalah bertemunya antara
keindahan suara dan tajwidnya sampai keindahan bayan dan susunannya, oleh
karena itu Allah SWT berfirman: "Dan bacalah Al Qur'an itu dengan
perlahan-lahan." (Al Muzzammil:4)
Rasulullah
SAW bersabda "Bukanlah termasuk ummatku orang yang tidak melagukan Al
Qur'an." (HR. Bukhari)
Tetapi
dengan lagu yang khusyu' bukan main-main atau merubah. "Hiasilah Al Qur'an
itu dengan suaramu." (HR. Muslim)
Dalam
riwayat lainnya disebutkan "Sesungguhnya suara yang baik itu menambah Al
Qur'an menjadi baik." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa'i)
Rasulullah SAW juga bersabda kepada Abu Musa Al
Asy'ari RA, "Seandainya kamu melihatku, aku mendengarkan suaramu tadi
malam, sungguh kamu telah diberi seruling dari seruling keluarga Dawud."
Abu Musa berkata, "Seandainya aku mengetahui hal itu, maka aku akan
membacakan untukmu dengan bacaan yang lebih baik." (HR. Muslim)
Rasulullah SAW juga bersabda: "Apa yang diizinkan
Allah pada sesuatu, apa yang dizinkan Allah kepada Nabinya (adalah) untuk
membaguskan dalam melagukan Al Qur'an yang dia baca dengan keras." (HR.
Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Dalam Al Qur'an terkandung unsur agama, ilmu,
sastra dan seni secara bersamaan. Dia mampu memberikan siraman ruhani,
memberikan kepuasan akal, membangunkan perasaan, memberikan kenikmatan pada
perasaan dan memperlancar lisan.
Materi 23
Al Qur’an Mu’jizat (Bagian
Kedua): Kalamullah
Bagaimanakah kita membuktikan Al-Quran itu adalah Kalam Allah?
Pertama, Al-Qur’an merupakan mu’jizat ( tidak ada seorangpun yang bisa
mendatangkan sepertinya, atau seperti surah di antara surah-surahnya ). Mu’jizat
ini hanya diberikan oleh Allah, kepada seorang rasulNya, sebagai bukti yang
membenarkan bahwa ia benar-benar utusan Allah. Sebagai Mu'jizat Al-Qur'an tentu
dari Allah. Dan memang sampai sekarang tidak ada seorangpun yang bisa mengarang
sepertinya, sampai seperti surah yang paling pendek pun masih belum ada yang
bisa mendatangkannya.
Pada waktu Al-Qur'an diturunkan,
orang-orang Arab berada di puncak kefasihan berbahasa.Tapi ternyata tidak
seorang pun dari mereka yang bisa membuat seperti Al-Qur'an. Berbagai usaha
telah dilakukan oleh sebagian penyair mereka. Tapi usaha mereka gagal. Bahkan
mereka sendiri mengakui bahwa Al-Qur'an memang bukan karangan manusia. Imam Az
Zarkasyi menyebutkan bahwa mu’jizat Al-Qur'an nampak dari segala sisi ( lihat
Al Burhan fi ulumil Qur'an, oleh Az Zarkasyi :Jilid:2,hal:237, Darul Ma'rifah,
Bairut1990) : dari rangkaian katanya yang indah " balaghah ", susunan
ayat-ayat dan surah-surahnya, kebenaran isinya, kesesuaian informasinya dengan
penemuan final ilmu pengetahuan.
Kedua, memang ada tuduhan bahwa
Al-Qur'an karangan Nabi Muhammad SAW, namun kemudian Imam Al-Baqillani dalam
bukunya Ijazul Qur'an, mencoba membandingkan antara hadits-hadits Nabi dan
ayat-ayat Al-Qur'an, hasilnya sebuah kesimpulan bahwa Al-Qur'an bukan karangan
Nabi. Al-Qur'an kalam Allah. Sampai-sampai Al Baqillani menantang. Kalau masih
belum percaya silahkan kumpulkan hadits-hadits Nabi – ujar Al Baqillani -,
lalu susunlah sebagaimana susunan Al-Qur'an, anda akan menemukan susunan yang
tidak berkaitan antara satu hadits dengan lainnya.
Bandingkan dengan Al-Qur'an,
teliti susunan ayatnya, sunan surah-surahnya, anda akan menemukan suatu
keterpaduan, saling berkaitan dari awal sampai akhir. Padahal ia diturunkan
secara berangsur-angsur. Para Ulama sepanjang sejarah telah membuktikan hakikat
kesatuan Al-Qur'an dengan susunannya yang ada. Di tambah lagi bahwa di dalam
Al-Qur'an banyak " khitab " yang ditujukan kepada Rasulullah. Bahkan
ada yang berupa teguran seperti yang terdapat dalam surat " Al Tahrim
", Rasulullah ditegur langsung karena mengharamkan madu pada dirinya,
untuk menjaga perasaan istrinya yang tidak suka bau madu yang diminumnya.
Di permulaan surat " Abasa
" juga teguran kepada Rasulullah kerena beliau bermuka masam kepada Ibn
Ummi Maktum yang pada waktu itu minta Rasulullah untuk mengajarkannya
Al-Qur'an, sementara Rasulullah sedang sibuk dalam sebuah pertemuan dengan
pemuka-pemuka Quraisy. Masuk akalkah seorang menegur dirinya senidiri dalam
buku yang dikarangnya? Kalau memang benar Al-Qur'an karangan Muhammad SAW.
Ketiga, Al-Qur'an sendiri menyuruh Rasulullah SAW untuk menantang siapa saja
yang dari mahluk yang ada, jin dan manusia untuk membuat sepertinya. Dalam (QS:
Hud:13) perintah untuk Nabi agar menantang mereka supaya mendatangkan sepuluh
surah. Dalam (QS:Yunus:38) perintah agar menantang mereka untuk mendatangkan satu
surah. Pada (QS:Al Baqarah:23) juga demikian.
Bahkan dalam (QS:Al Isra':88)
Al-Qur'an menegaskan bahwa sekalipun jin dan manusia berkumpul untuk mengarang
seperti Al-Qur'an tidak akan bisa. Dan sampai sekarang Al-Qur'an masih terus
menantang, tapi tidak ada seorangpun yang bisa menjawab. Kalau memang karangan
Nabi Muhammad SAW, mengapa pakai perintah? Dan bentuk perintah kepada Nabi
Muhammad SAW, di dalam Al-Qur'an begitu banyak. Perhatikan saja tiga surah
terkahir : Al Ikhalsh, Al Falaq dan An Nas. Semuanya dimulai dengan perintah
" qul " ( katakan hai Muhammad ). Ini semua menunjukkan bahwa
Al-Qur'an kalam Allah.
Dan kalau Al-Qur'an karangan
manusia, tentu tidak akan sampai sejauh ini berani menantang. Sementara
Al-Qur'an akan terus menantang sampai hari Kiamat. Suatu bukti bahwa ia kalam
Allah yang mu'jiz. Keempat, Silahakan anda bandingkan antara penemuan ilmu
pengetahuan yang sudah final ( bukan teori ), tentang alam, atau tentang tubuh
manusia dan lain sebagianya, lalu bandingkan dengan penegasan Al-Qur'an, anda
pasti akan mendapatkan hakikat yang sama. Mengapa, karena alam ini ciptaan Allah, dan Al-Qur'an kalamNya. Sudah
demikian banyak para ulama mengungkap hal ini dalam pembahasan "al i'jazul
ilmi lilqur'an".
Adakah akal manusia sejak sekian abad silam, bisa menjangkau penemuan ilmu
yang baru saja didapatkan tanpa sebuah penelitian? Kelima, di dalam Al-Qur'an
banyak informasi mengenai alam ghaib, seperti adanya surga dengan segala
keindahannya, dan neraka dengan segala kepedihannya, adanya hari kiamat, dan
seterusnya yang semuanya ini tidak mungkin dijangkau oleh akal manusia. Suatu
bukti bahwa yang mempunyai informasi seperti ini hanya Dia yang menciptakan
alam, dan yang menentukan akhir hidup manusia, yang mengatur kehidupan setelah
matinya semua mahluk, dan yang membagi ada yang ke surga dan yeng ke neraka.
Materi 24
Al Qur’an Membentuk Umat
Mulia
"Segala puji bagi Allah yang telah
menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan
kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan
akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira
kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan
mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk
selama-lamanya." ( Al Kahfi: 1-3)
Rabb kita telah memberikan kemuliaan kepada kita
--sebagai kaum Muslimin-- dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang
diturunkan kepada manusia. Rabb kita juga, telah memuliakan kita dengan
mengutus nabi yang terbaik yang pernah diutus kepada manusia. Sesuai firman
Allah SWT:
"Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada
kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka
apakah kamu tiada memahaminya?" (Al Anbiyaa: 10).
Kitalah, kaum muslimin, satu-satunya umat yang
memeliki manuskrip langit yang paling autentik, yang mengandung firman-firman
Allah SWT yang terakhir, yang diberikan untuk menjadi petunjuk bagi umat
manusia. Dan anugerah itu terus terpelihara dari perubahan dan pemalsuan kata maupun
makna. Karena Allah SWT. telah menjamin untuk memeliharanya, dan tidak
dibebankan tugas itu kepada siapapun dari sekalian makhluk-Nya:
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al
Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al Hijr: 9).
Al Qur'an adalah kitab Ilahi seratus persen:
"(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu." (Huud: 1)
"Dan sesungguhnya Al Qur'an itu adalah kitab
yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji." ( Fush-shilat: 41-42)
Tidak ada di dunia ini, suatu kitab, baik itu
kitab agama atau kitab biasa, yang terjaga dari perubahan dan pemalsuan,
kecuali Al Qur'an. Tidak ada seorangpun yang dapat menambah atau mengurangi
satu hurup-pun darinya.
Ayat-ayatnya dibaca, didengarkan, dihapal dan
dijelaskan, sebagaimana bentuknya saat diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi
Muhammad Saw, dengan perantaraan ruh yang terpercaya (Jibril).
Al
Quran berisikan seratus empat belas surah. Seluruhnya dimulai dengan basmalah
(bismillahirrahmanirrahim). Kecuali satu surah saja, yaitu surah at Taubah. Ia
tidak dimulai dengan basmalah. Dan tidak ada seorang pun yang berani untuk
menambahkan basmalah ini pada surah at Taubah, baik dengan tulisan atau bacaan.
Karena, dalam masalah Al Qur'an ini, tidak ada tempat bagi akal untuk campur
tangan.
Perhatian
kaum muslimin terhadap Al Quran sedemikian besarnya, hingga mereka juga
menghitung ayat-ayatnya --bahkan kata-katanya, dan malah hurup-hurupnya--. Maka
bagaimana mungkin seseorang dapat menambah atau mengurangi suatu kitab yang
dihitung kata-kata dan hurup-hurupnya itu?!
Tidak
ada di dunia ini suatu kitab yang dihapal oleh ribuan dan puluhan ribu orang,
di dalam hati mereka, kecuali Al Qur'an ini, yang telah dimudahkan oleh Allah
SWT untuk diingat dan dihapal. Maka tidak aneh jika kita menemukan banyak
orang, baik itu lelaki maupun perempuan, yang menghapal Al Qur'an dalam mereka.
Ia juga dihapal oleh anak-anak kecil kaum Muslimin, dan mereka tidak melewati
satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Demikian juga dilakukan oleh banyak orang
non Arab, namun mereka tidak melewati satu hurup-pun dari Al Qur'an itu. Dan
salah seorang dari mereka, jika Anda tanya: "siapa namamu?" --dengan
bahasa Arab-- niscaya ia tidak akan menjawab! (Karena tidak paham bahasa Arab!,
penj.). Ia menghapal Kitab Suci Rabbnya semata untuk beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT, meskipun ia tidak memahami apa yang ia baca dan ia
hapal, karena ia tertulis dengan bukan bahasanya.
Al
Qur'an tidak semata dijaga makna-makna, kalimat-kalimat serta lafazh-lafazhnya
saja, namun juga cara membaca dan makhraj hurup-hurupnya. Seperti kata mana
yang harus madd (panjang), mana yang harus ghunnah (dengung), izhhar (jelas),
idgham (digabungkan), ikhfa (disamarkan) dan iqlab (dibalik). Atau seperti yang
digarap oleh suatu ilmu khusus yang dikenal dengan "ilmu tajwid Al
Qur'an".
Hingga
rasam (metode penulisan) Al Qur'an, masih tetap tertulis dan tercetak hingga
saat ini, seperti tertulis pada era khalifah Utsman bin Affan r.a., meskipun
metode dan kaidah penulisan telah berkembang jauh. Hingga saat ini, tidak ada
suatu pemerintah muslim atau suatu organisasi ilmiah pun, yang berani merubah
metode penulisan Al Qur'an itu, dan menerapkan kaidah-kaidah penulisan yang
berlaku bagi seluruh buku, media cetak, koran dan lainnya yang ditulis dan
dicetak, bagi Al Qur'an.
Materi 25
Al Qur’an Cahaya
Allah
menurunkan Al Qur'an untuk memberikan kepada manusia tujuan yang paling mulia,
dan jalan yang paling lurus."Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus."(Al Israa: 9)
"Sesungguhnya
telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan
kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu
dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus." ( Al Maaidah: 15-16)
Al
Qur'an adalah "cahaya" yang dianugerahkan Allah SWT kepada
hamba-hamba-Nya, di samping cahaya fithrah dan akal: "Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis)." (An Nuur: 35). Dan Al Qur'an mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai
cahaya, dalam banyak ayat.
Seperti
dalam firman Allah SWT: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu'jizatnya) dan telah Kami
turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an)." (An Nisaa: 174)
"Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al Qur'an) yang
telah Kami turunkan." (At Taghaabun: 8).
Dan
berfirman kepada para sahabat Rasulullah Saw dengan firman-Nya: "Dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an)." (Al
A'raaf: 157)
Di
antara karakteristik cahaya adalah: Dirinya sendiri telah jelas, kemudian ia
memperjelas yang lain. Ia membuka hal-hal yang samar, menjelaskan hakikat-hakikat,
membongkar kebatilan-kebatilan, menolak syubhat (kesamaran), menunjukkan jalan
bagi orang-orang yang sedang kebingungan saat mereka gamang dalam menapaki jalan
atau tidak memiliki petunjuk jalan, serta menambah jelas dan menambah petunjuk
bagi orang yang telah mendapatkan petunjuk. Dan jika Al Qur'an mendeskripsikan
dirinya sebagai "cahaya", dan dia adalah "cahaya yang istimewa",
ia juga mendeskripsikan Taurat dengan kata yang lain: "Di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi)."
Seperti
dalam firman Allah SWT: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat
di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)". (Al Maaidah: 44)
Demikian
juga mendeskripsikan Injil seperti itu, seperti dalam firman Allah SWT tentang
Nabi 'Isa: "Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di
dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) ." (Al Maidah: 46)
Perbedaan
dalam dua pengungkapan itu menunjukkan perbedaan antara Al Qur'an dengan
kitab-kitab suci lainnya. Seperti diungkapkan oleh Al Bushiry dalam Lamiah-nya:
"Maha Besar Allah, sesungguhnya agama Muhammad Dan kitab sucinya adalah
kitab suci yang paling lurus dan paling teguh Jangan sebut kitab-kitab suci
lainnya di depannya Karena, saat mentari pagi telah bersinar, ia akan
memadamkan pelita-pelita".
Hal
itu karena Al Qur'an ini datang untuk membenarkan kitab-kitab suci yang telah
turun sebelumnya. Yaitu yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah dan akhlak,
sebelum kitab-kitab itu dipalsukan dan diubah tangan manusia. Al Qur'an juga
mengungguli kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dengan mengoreksi dan meluruskan
tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang telah disisipkan oleh manusia
dalam kitab-kitab itu. Tentang hal ini Allah SWT berfirman: "Dan Kami
telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu." (Al Maaidah: 48)
Al
Qur'an juga mempunyai maksud dan tujuan diturunkanya, di antaranya: meluruskan
kepercayaan-kepercayaan dan pola pandang manusia tentang Tuhan, kenabian, dan
balasan atas amal perbuatan, serta meluruskan pola pandangan tentang manusia,
kemuliaannya dan menjaga hak-haknya, menghubungkan manusia dengan Rabbnya, membersihkan
jiwa manusia, membentuk keluarga, membangun umat yang saleh, yang dianugerahkan
amanah untuk menjadi saksi bagi manusia, mengajak untuk menciptakan dunia
manusia yang saling kenal mengenal dan tidak saling mengisolasi diri, saling
memberi maaf dan tidak saling membenci secara fanatik, serta untuk bekerja sama
dalam kebaikan dan ketaqwaan, bukan dalam kejahatan dan permusuhan.
Kita berkewajiban untuk memperlakukan Al Qur'an
ini secara baik: dengan menghapal dan mengingatnya, membaca dan
mendengarkannya, serta mentadabburi dan merenungkannya.
Materi 26
Interaksi Dengan Al Qur’an
Sebagai
seorang Muslim kita berkewajiban untuk berlaku baik dan benar terhadap Al
Qur’an dalam memahami dan menafsirkannya. Tidak ada yang lebih baik dari
usaha kita untuk mengetahui kehendak Allah SWT terhadap kita. Dan Allah SWT
menurunkan kitab-Nya agar kita mentadabburinya, memahami rahasia-rahasianya,
serta mengeksplorasi mutiara-mutiara terpendamnya. Dan setiap orang berusaha
sesuai dengan kadar kemampuannya.
Namun yang disayangkan, dalam bidang ini telah
terjadi kerancuan yang berbahaya, yaitu dalam memahami dan menafsirkan Al
Qur'an. Oleh karena itu harus dibuat rambu-rambu dan petunjuk yang mampu
menjaga dari kekeliruan dalam usaha ini, serta perlu diberikan peringatan tentang
ranjau-ranjau yang menghadang di jalan, yang dapat berakibat patal jika
dilanggar.
Tidak selayaknya umat Al Qur'an mengalami hal
yang sama yang pernah terjadi dengan umat Taurat, yang diungkapkan oleh Al
Qur'an dalam firman-Nya: "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal." (Al Jumu'ah: 5).
Kita juga harus berlaku baik terhadap Al Qur'an
dengan mengikuti petunjuknya, mengerjakan ajarannya, menghukum dengan
syari'atnya serta mengajak manusia mengikuti petunjuknya. Ia adalah manhaj bagi
kehidupan individu, undang-undang bagi aturan politik, serta petunjuk dalam
berdakwah kepada Allah SWT.
Inilah yang berusaha dilakukan buku ini dalam
empat bab utamanya, dengan bertumpu --terutama-- pada Al Qur'an itu sendiri,
karena ia adalah objek kita, namun ia juga petunjuk itu.
Umat kita pada abad-abad pertama --yang merupakan
abad-abad yang paling utama-- telah berinteraksi dengan baik terhadap Al
Qur'an. Mereka berlaku baik dalam memahaminya, mengetahui tujuan-tujuannya,
berlaku baik dalam mengimplementasikannya secara massive dalam kehidupan
mereka, dalam bidang-bidang kehidupan yang beragam, serta berlaku baik pula
dalam mendakwahkannya. Contoh terbaik hal itu adalah para sahabat. Kehidupan
mereka telah diubah oleh Al Quran dengan amat drastis dan revolusioner. Al
Qur'an telah merubah mereka dari perilaku-perilaku jahiliyah menuju kesucian
Islam, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke dalam cahaya. Kemudian mereka
diikuti oleh murid-murid mereka dengan baik, untuk selanjutnya murid-murid
generasi berikutnya mengikuti murid-murid para sahabat itu dengan baik pula.
Melalui mereka itulah Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia, membebaskan
negeri-negeri, memberikan kedudukan bagi mereka di atas bumi, sehingga mereka
kemudian mendirikan negara yang adil dan baik, serta peradaban ilmu dan iman.
Kemudian datang generasi-generasi berikutnya,
yang menjadikan Al Qur'an terlupakan, mereka menghapal hurup-hurupnya, namun
tidak memperhatikan ajaran-ajarannya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara
benar dengannya, tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas Al Qur'an,
tidak menganggap besar apa yang dinilai besar oleh Al Qur'an serta tidak
menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh Al Qur'an. Di antara merek ada
yang beriman dengan sebagiannya, namun kafir dengan sebagiannya lagi, seperti
yang dilakukan oleh Bani Israel sebelum mereka terhadap kitab suci mereka.
Mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan Al Qur'an, seperti yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Meskipun mereka mengambil berkah dengan membawanya
serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan ayat-ayat Al Qur'an, namun
mereka lupa bahwa keberkahan itu terdapat dalam mengikut dan menjalankan hukum-hukumnya.
Seperti difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami
turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi
rahmat." (Al An'aam: 155)
Tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari
kelemahan, ketertinggalan dan keterpecah-belahan mereka selain dari kembali
kepada Al Qur'an ini. Dengan menjadikannya sebagai panutan dan imam yang
diikuti. Dan cukuplah Al Qur'an sebagai petunjuk:
"Dan siapakah yang lebih benar perkataannya
daripada Allah?." (An Nisaa: 122)
Materi 27
Bahaya Rumor/Ghibah (Bagian Pertama): Pengertian Ghibah
Islam merupakan agama sempurna yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala anugerahkan kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
wasallam. Kesempurnaan Islam ini menunjukkan bahwa syariat yang dibawa
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu adalah rahmatal lil’alamin.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhabarkan di dalam
firman-Nya (artinya): “Tidaklah Aku mengutusmu melainkan sebagai rahmatal
lil’alamin.” (Al Anbiya’: 107)
Diantara wujud kesempurnaan agama Islam sebagai
rahmatal lil’alamin, adalah Islam benar-benar agama yang dapat menjaga,
memelihara dan menjunjung tinggi kehormatan, harga diri, harkat dan martabat
manusia secara adil dan sempurna. Kehormatan dan harga diri merupakan perkara
yang prinsipil bagi setiap manusia.
Setiap orang pasti berusaha untuk menjaga dan
mengangkat harkat dan martabatnya. Ia tidak rela untuk disingkap aib-aibnya
atau pun dibeberkan kejelekannya. Karena hal ini dapat menjatuhkan dan merusak
harkat dan martabatnya di hadapan orang lain.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
“Setiap
muslim terhadap muslim lainnya diharamkan darahnya, kehormatannya, dan juga
hartanya.” (H.R Muslim no. 2564)
Hadits di atas menjelaskan tentang eratnya
hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama muslim. Bahwa setiap muslim
diharamkan menumpahkan darah (membunuh) dan merampas harta saudaranya seiman.
Demikian pula setiap muslim diharamkan melakukan perbuatan yang dapat
menjatuhkan, meremehkan, atau pun merusak kehormatan saudaranya seiman. Karena
tidak ada seorang pun yang sempurna dan ma’shum (terjaga dari kesalahan)
kecuali para Nabi dan Rasul. Sebaliknya selain para Nabi dan Rasul termasuk
kita tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan.
Suatu fenomena yang lumrah terjadi di masyarakat
kita dan cenderung disepelekan, padahal akibatnya cukup besar dan membahayakan, yaitu ghibah
(menggunjing). Karena dengan perbuatan ini akan tersingkap dan tersebar aib
seseorang, yang akan menjatuhkan dan merusak harkat dan martabatnya.
Tahukah
anda apa itu ghibah? Sesungguhnya kata ini tidak asing lagi bagi kita. Ghibah ini erat kaitannya dengan perbuatan lisan, sehingga
sering terjadi dan terkadang di luar kesadaran.
Ghibah adalah menyebutkan, membuka, dan membongkar
aib saudaranya dengan maksud jelek. Al Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab
Shahihnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apakah kalian
mengetahui apa itu ghibah? Para shahabat berkata:
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
“Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada
saudaramu yang dia membecinya, jika yang engkau sebutkan tadi benar-benar ada
pada saudaramu sungguh engkau telah berbuat ghibah,
sedangkan jika itu tidak benar maka engkau telah membuat kedustaan atasnya.”
Di
dalam Al Qur’anul Karim Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela
perbuatan ghibah, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan
janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian
kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang
lainnya. Apakah kalian suka salah seorang diantara kalian memakan daging
saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah kalian membencinya. Dan bertaqwalah
kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha
Pengasih.” (Al Hujurat: 12)
Al
Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i berkata dalam tafsirnya: “Sungguh telah disebutkan
(dalam beberapa hadits) tentang ghibah dalam konteks
celaan yang menghinakan. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyerupakan orang yang berbuat ghibah seperti orang
yang memakan bangkai saudaranya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala … (pada ayat di atas). Tentunya itu perkara yang kalian benci dalam
tabi’at, demikian pula hal itu dibenci dalam syari’at. Sesungguhnya ancamannya
lebih dahsyat dari permisalan itu, karena ayat ini sebagai peringatan agar
menjauh/lari (dari perbuatan yang kotor ini -pent). ” (Lihat Mishbahul Munir)
Materi 28
Bahaya Ghibah (Bagian Kedua): Kriteria Ghibah
1. Menggambarkan keburukan bentuk tubuh seseorang
Suatu
hari Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam tentang Shafiyyah bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka
beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sungguh engkau telah
berkata dengan suatu kalimat yang kalau seandainya dicampur dengan air laut
niscaya akan merubah air laut itu.” (H.R. Abu Dawud 4875 dan lainnya)
Asy
Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut,
disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah.
Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan tersebut.” (Lihat
Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin 3/25)
2. Membicarakan keburukan orang lain
Dari
shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu
kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan
dada-dadanya. Lalu aku
bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril
menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan
merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya). Yang dimaksud
dengan ‘memakan daging-daging manusia’ dalam hadits ini adalah berbuat ghibah (menggunjing), sebagaimana permisalan pada surat Al
Hujurat ayat: 12.
Dari
shahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang
belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin,
janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya.
Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan
mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan
menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
Dari
shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Suatu
ketika kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal
dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad
3/351)
Dari
shahabat Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
“Sesungguhnya termasuk riba yang paling besar
(dalam riwayat lain: termasuk dari sebesar besarnya dosa besar) adalah
memperpanjang dalam membeberkan aib saudaranya muslim tanpa alasan yang benar.”
(H.R. Abu Dawud no. 4866-4967)
Dari
ancaman yang terkandung dalam ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa
perbuatan ghibah ini termasuk perbuatan dosa besar,
yang seharusnya setiap muslim untuk selalu berusaha menghindar dan menjauh dari
perbuatan tersebut.
Asy
Syaikh Al Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39 berkata:
Janganlah
kamu tersibukkan dengan aib orang lain, justru kamu lalai
Dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban
(Lihat Nashihati linnisaa’ hal. 32)
Dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban
(Lihat Nashihati linnisaa’ hal. 32)
3. Membicarakan sesuatu yang tidak disukai saudaranya
Konteks
dalam hadits: “Engkau menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang dia membecinya.” Hadits
di tersebut secara zhahir mengandung makna yang umum, yaitu mencakup penyebutan
aib dihadapan orang tersebut atau diluar sepengetahuannya. Namun Al Hafizh Ibnu
Hajar menguatkan bahwa ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya, sebagaimana
asal kata ghibah (yaitu dari kata ghaib yang artinya
tersembunyi-pent) yang ditegaskan oleh ahli bahasa. Kemudia Al Hafizh berkata:
“Tentunya membeberkan aib di hadapannya itu merupakan perbuatan yang haram,
tapi hal itu termasuk perbuatan mencela dan menghina.” (Fathul Bari 10/470 dan
Subulus Salam hadits no. 1583, lihat Nashihati linnisaa’ hal. 29)
4. Mendengar pembicaraan ghibah tapi tidak
melarangnya
Demikian
pula bagi siapa yang mendengar dan ridha dengan perbuatan ghibah
maka hal tersebut juga dilarang. Semestinya dia tidak ridha melihat saudaranya
dibeberkan aibnya. Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Barang
siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah
wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzi no. 1931
dan lainnya)
Demikian
juga semestinya ia tidak ridha melihat saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan
yaitu berbuat ghibah. Semestinya ia menasehatinya,
bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut. Kalau sekiranya ia tidak
mampu menasehati atau mencegahnya dengan cara yang baik, maka hendaknya ia
pergi dan menghindar darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
(artinya):
“Dan orang-orang yang beriman itu bila¬
mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, dan mereka
berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, semoga kesejahteraan
atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al
Qashash: 55)
Dari
shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
“Barang
siapa yang melihat kemungkaran hendaknya dia mengingkarinya dengan tangan. Bila
ia tidak mampu maka cegahlah dengan lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah
dengan hatinya, yang demikian ini selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun bila
ia ikut larut dalam perbuatan ghibah ini berarti ia
pun ridha terhadap kemaksiatan, tentunya hal ini pun dilarang dalam agama.
Bertaubat dari
Ghibah
Lalu bagaimana cara bertaubat dari perbuatan ghibah?
Apakah wajib baginya untuk memberi tahu kepada yang dighibahi? Sebagian para
ulama’ berpendapat wajib baginya untuk memberi tahu kepadanya dan meminta ma’af
darinya. Pendapat ini ada sisi
benarnya jika dikaitkan dengan hak seorang manusia. Misalnya mengambil harta
orang lain tanpa alasan yang benar maka dia pun wajib mengembalikannya.
Tetapi dari
sisi lain, justru bila ia memberi tahu kepada yang dighibahi dikhawatirkan akan
terjadi mudharat yang lebih besar. Bisa jadi orang yang dighibahi itu justru
marah yang bisa meruncing pada percekcokan dan bahkan perkelahian. Oleh karena
itu sebagian para ulama lainnya berpendapat tidak perlu ia memberi tahukan kepada
yang dighibahi tapi wajib baginya beristighfar
(memohan ampunan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyebutkan
kebaikan-kebaikan orang yang dighibahi itu di tempat-tempat yang pernah ia
berbuat ghibah kepadanya. Insyaallah pendapat
terakhir lebih mendekati kebenaran. (Lihat Nashiihatii linnisaa’: 31)
Materi 29
Menggapai
Keberkahan Hidup
Setiap orang tentu saja ingin memperoleh keberkahan dalam hidupnya
di dunia ini. Karena itu kita selalu berdo’a dan meminta orang lain mendo’akan
kita agar segala sesuatu yang kita miliki dan kita upayakan memperoleh keberkahan
dari Allah Swt. Secara harfiyah, berkah berarti an nama’ waz ziyadah yakni
tumbuh dan bertambah, ini berarti Berkah adalah kebaikan yang bersumber dari
Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya sehingga apa yang
diperoleh dan dimiliki akan selalu berkembang dan bertambah besar manfaat kebaikannya.
Kalau sesuatu yang kita miliki membawa pengaruh negatif, maka kita berarti
tidak memperoleh keberkahan yang diidamkan itu.
Namun, Allah Swt tidak sembarangan memberikan keberkahan
kepada manusia. Ternyata, Allah SWT hanya akan memberi keberkahan itu kepada
orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Janji Allah SWT untuk memberikan
keberkahan kepada orang yang beriman dan bertaqwa dikemukakan dalam firman-Nya
yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya” (QS 7:96).
Apabila
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok atau masyarakat
memperoleh
keberkahan dari Allah Swt, maka kehidupannya akan selalu berjalan dengan baik,
rizki yang diperolehnya cukup bahkan melimpah, sedang ilmu dan amalnya selalu
memberi manfaat yang besar dalam kehidupan. Disilah letak pentingnya bagi kita
memahami apa sebenarnya keberkahan itu agar kita bisa berusaha semaksimal
mungkin untuk meraihnya.
Bentuk
Keberkahan
Secara umum,
keberkahan yang diberikan Allah SWT kepada orang-orang yang beriman bisa kita
bagi kedalam tiga bentuk. Pertama, berkah dalam keturunan, yakni dengan
lahirnya generasi yang shaleh.
Generasi yang
shaleh adalah yang kuat imannya, luas ilmunya dan banyak amal shalehnya, ini
merupakan sesuatu yang amat penting, apalagi terwujudnya generasi yang
berkualitas memang dambaan setiap manusia. Kelangsungan Islam dan umat Islam
salah satu faktornya adalah adanya topangan dari generasi yang shaleh.
Generasi
semacam itu juga memiliki jasmani yang kuat, memiliki kemandirian termasuk
dalam soal harta dan bisa menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Keberkahan
semacam ini telah diperoleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya yang ketika usia
mereka sudah begitu tua ternyata masih dikaruniai anak, bahkan tidak hanya
Ismail yang shaleh, sehat dan cerdas, tapi juga Ishak dan Ya’kub. Di dalam Al- Qur’an
keberkahan semacam ini diceritakan oleh Allah yang artinya: “Dan isterinya berdiri
(di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira
tentang kelahiran Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya’kub. Isterinya
berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku aka melairkan anak, padahal aku
adalah perempuan seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang
sudah tua pula?. Sesungguhnya
ini benar-benar suatu yang sangat aneh". Para malaikat itu berkata: "Apakahkamu merasa
heran tentang ketetapan Allah? (itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya,
dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha
Pemurah" (QS 11:71-73).
Kedua,
keberkahan dalam soal makanan yakni makanan yang halal dan thayyib, hal ini
karena ulama ahli tafsir, misalnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan dari
langit dan bumi sebagaimana yang disebutkan dalam firman surat Al A’raf: 96 di atas
adalah rizki yang diantara rizki itu adalah makanan. Yang dimaksud makanan yang
halal adalah disamping halal jenisnya juga halal dalam mendapatkannya, sehingga
bagi orang yang diberkahi Allah, dia tidak akan menghalalkan segala cara dalam
memperoleh nafkah.
Di samping itu,
makanan yang diberkahi juga adalah yang thayyib, yakni yang sehat dan bergizi
sehingga makanan yang halal dan tayyib itu tidak hanya mengenyangkan tapi juga
dapat menghasilkan tenaga yang kuat untuk selanjutnya dengan tenaga yang kuat
itu digunakan untuk melaksanakan dan menegakkan nilai-nilai kebaikan sebagai
bukti dari ketaqwaannya kepada Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rizkikan
kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS 5:88).
Karena itu,
agar apa yang dimakan juga membawa keberkahan yang lebih banyak lagi, meskipun
sudah halal dan thayyib, makanan itu harus dimakan sewajarnya atau secukupnya,
hal ini karena Allah sangat melarang manusia berlebih-lebihan dalam makan
maupun minum, Allah Swt berfirman yang artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu
yang indak di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
(7:31).
Ketiga, berkah
dalam soal waktu yang cukup tersedia dan dimanfaatkannya untuk kebaikan, baik
dalam bentuk mencari harta, memperluas ilmu maupun memperbanyak amal yang
shaleh, karena itu Allah menganugerahi kepada kita waktu, baik siang maupun
malam dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam setiap harinya, tapi bagi orang yang
diberkahi Allah maka dia bisa memanfaatkan waktu yang 24 jam itu semaksimal
mungkin sehingga pencapaian sesuatu yang baik ditempuh dengan penggunaan waktu
yang efisien, karena salah satu karakteristik waktu adalah tidak akan bisa
kembali lagi bila sudah berlalu, Allah berfirman yang artinya: “Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati
kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS 103:1-3).
Karena itu,
bagi seorang muslim yang diberkahi Allah, waktu digunakan untuk bisa membuktikan
pengabdiannya kepada Allah Swt, meskipun dalam berbagai bentuk usaha yang
berbeda, Allah berfirman yang artinya: “Demi malam apabila menutupi, dan siang
apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya
usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (harta di jalan
Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka
Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (92:1-7).
Materi 30
Kunci Keberkahan
Sebagai seorang
muslim, keberkahan dari Allah untuk kita merupakan sesuatu yang amat penting.
Karena itu, ada kunci yang harus kita miliki dan usahakan dalam hidup ini.
Sekurang-kurangnya, ada dua faktor yang menjadi kunci keberkahan itu.
1. Iman dan
Taqwa Yang Benar
Di dalam ayat
di atas, sudah dikemukakan bahwa Allah akan menganugerahkan keberkahan kepada
hamba-hambanya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Semakin mantap iman dan
taqwa yang kita miliki, maka semakin besar keberkahan yang Allah berikan kepada
kita. Karena itu menjadi keharusan kita bersama untuk terus memperkokoh iman
dan taqwa kepada Allah Swt. Salah satu ayat yang amat menekankan peningkatan
taqwa kepada orang yang beriman adalah firman Allah yang artinya: Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa dan jangan sampai kamu mati kecuali dalam keadaan berserah
diri/muslim (QS 3:102).
Keimanan dan ketaqwaan yang benar selalu ditunjukkan oleh
seorang mu’min dalam bentuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan sendiri
maupun bersama orang lain. Tegasnya
keimanan dan ketaqwaan itu dibuktikan dalam situasi dan kondisi yang bagaimananpun juga dan dimanapun dia
berada.
2. Berpedoman
kepada Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan sumber keberkahan sehingga apabila kita menjalankan pesan-pesan yang
terkandung di dalam Al-Qur’an dan berpedoman kepadanya dalam berbagai aspek
kehidupan, nicaya kita akan memperoleh keberkahan dari Allah Swt, Allah
berfirman yang artinya: Dan Al-Qur’an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai
berkah yang telah kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya? (QS
21:50, lihat juga QS 38:29.6:155).
Karena harus
kita jalankan dan pedomani dalam kehidupan ini, maka setiap kita harus
mengimani kebenaran Al-Qur’an bahwa dia merupakan wahyu dari Allah Swt sehingga
tidak akan kita temukan kelemahan dari Al-Qur’an, selanjutnya bisa dan suka
membaca serta menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut aspek
pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa. Akhirnya menjadi jelas bagi kita
bahwa, keberkahan dari Allah yang kita dambakan itu, memperolehnya harus dengan
berdo’a dan berusaha yang sungguh-sungguh, yakni dalam bentuk memantapkan iman
dan taqwa serta selalu menjadikan Al- Qur’an sebagai pedoman dalam hidup ini.
Materi Tambahan
Halal Bi Halal
Sebenarnyalah istilah Halalbihalal tidak
dikenal oleh kalangan bangsa Arab, tidak pula ada pada zaman Nabi saw. dan para
sahabat. Karenanya, kamus bahasa Arab juga tak mengenal istilah itu. Justru
‘halalbihalal’ masuk dan diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal
maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di
sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu
kebiasaan khas Indonesia.”
Para ulama kita terdahulu mendasarkan kegiatan halal
bihalal tersebut pada sebuah hadits shahih dari Imam Bukhari
seperti di bawah ini:
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat kezhaliman
(kesalahan) kepada saudaranya sehingga merendahkan derajatnya, maka hendaklah
ia meminta halal hal tersebut dari saudaranya itu pada hari ini.”
Ada
dua hal yang perlu digarisbawahi di sini:
1.
falyatahallal, yakni meminta halal, itu berarti bukan
sekedar meminta maaf, tetapi juga harus mengembalikan hak saudaranya yang telah
ia langgar. Jika itu berupa barang, hendaknya dikembalikan. Ketika orang saling
meminta halal, maka terjadilah ‘halal-halalan’; yang kemudian
di-Arab-kan menjadi ‘halal-bi-halal’. Halal dengan halal. Acara ini
kemudian berkembang menjadi sangat bervariasi ragam bentuk dan acaranya hingga
saat ini.
2.
al-yauma, yakni pada hari ini. ‘Hari ini’ yang dimaksud
tidak lain adalah hari raya Idul Fitri, karena menurut sebagian
riwayat, Rasulullah saw. mengucapkan hadits itu saat hari raya Idul Fitri. Ada
pula yang mengartikan ‘pada hari ini (juga)’. Yakni bahwa ketika kita membuat
kesalahan pada seseorang, hendaknya kita meminta halal kepadanya hari
ini juga, jangan ditunda-tunda.
Mengapa
halalbihalal dilaksanakan pada Syawal selepas Ramadhan?
Selain
dasar hadits tersebut, bahwa al-yauma itu tidak lain adalah hari raya
Idul Fitri, para ulama mendasarkan juga pada QS. Al-Baqarah: 133-134, bahwa
ciri orang yang bertakwa (sebagai output dari ibadah ramadhan) salah
satunya adalah al-kaazhimiinal gaidh, yakni ‘memaafkan kesalahan
manusia.’ Karena itu, ketika pada ramadhan kita memperbaiki hubungan vertikal
dengan Allah (hablun minallah), maka ketika Syawal tiba saatnya kita
melengkapinya dengan memperbaiki hubungan horisontal dengan sesama manusia (hablun
minannas), yakni dengan cara saling memaafkan; saling meminta halal
atas kesalahan kita masing-masing. Maka
jadilah tradisi halalbihalal sebagaimana berkembang seperti sekarang
ini; yang khas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar